Kamis, 07 Januari 2010

Ashif Bin Barkhaya

Dan sesungguhnya telah Kami lebihkan sebagian nabi-nabi itu atas sebagian
yang lain(Al-Isra’ : 55).
Memang kalau kita cermati, sikap Allah terhadap para hamba-Nya tidaklah sama. Sebagaimana para Rasul, yang sebagiannya diberi kelebihan di atas yang lain. Di antara mereka diizinkan untuk berbicara (secara langsung) dengan Allah. Dan sebagian yang lain Allah meninggikan derajat mereka (Al-Baqarah: 253).
Kita dapat melihat bagaimana martabat Nabi Isa yang telah mendapat karunia begitu besar sehingga beliau pernah mengucapkan jaminan keselamatan terhadap dirinya sendiri, sebagaimana sinyalemen:
Dan keselamatan semoga terlimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan dan pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali (Maryam: 33).
Perhatikan kaliman ‘aku’ pada ayat tersebut, dimana Nabi Isa berposisi sebagai subyek pada ayat tersebut.
Sedangkan Nabi Yahya As berada pada maqam takut (haibah) dan malu (haya’), sehingga dia tidak pernah mengucapkan apa pun mengenai dirinya. Pada akhirnya Allah sendiri bertindak memujinya ( Nabi Yahya sebagai obyek), sebagaimana difirmankan:
Dan keselamatan atas dirinya (Yahya) pada hari ia dilahirkan dan pada hari ia meninggal dan pada hari ia dibangkitkan hidup kembali(Maryam : 15).
Kita cermati pula, betapa Allah begitu murah dalam memaafkan saudara-saudara Nabi Yusuf yang telah membuat penderitaannya, padahal menurut sebagian ulama, kesalahan mereka, terhitung dari awal surah Yusuf sampai dua puluh ayat ke depan, tidak kurang dari empat puluh kesalahan yang telah diperbuat, sebagiannya ada yang berat, di samping yang kecil-kecil. Namun anehnya, Allah begitu mudah memaafkan perbuatan mereka itu.
Akan lain tindakan Allah kepada Nabi ‘Uzair, dimana pada sekali waktu beliau bertanya mengenai kekuasaan Allah (qudrat) mengenai cara menghidupkan makhluk yang telah mati, namun segera saja Dia begitu murka kepadanya sehingga sebagian ulama mengatakan bahwa beliau telah dihapus dari buku kenabian.
Begitu pula tindakan-Nya kepada Bal’am bin Ba’aura’ selaku seorang ulama yang telah menjual agama untuk kepentingan dunia. Ia telah merasakan akibat perbuatannya itu, yakni dihukum setimpal sebagaimana anjing yang lidahnya terus menjulur keluar.
Lain lagi dengan apa yang dilakukan Ashif bin Barkhaya. Sebenarnya ia pada asalnya termasuk orang yang melampaui batas, namun berbagai kedurhakaan yang dilakukan dengan anggauta badannya itu ternyata mendapat ampunan Allah. Dikisahkan bahwa Allah sampai memberi wahyu kepada Nabi Sulaiman berkenaan dengan perilaku Ashif ini.
“Wahai pemimpin para Abid, wahai anak penghulu orang yang zuhud, sampai kapan anak pamanmu itu (Ashif) gemar melakukan kedurhakaan kepada-Ku, padahal Aku telah berkali-kali berlaku sabar kepadanya. Demi kemuliaan-Ku, jika saja murka-Ku telah memuncak, ia akan Aku siksa dengan sekali siksaan, kemudian Aku tinggalkan sebagai pelajaran bagi orang yang semisalnya, baik ketika ia masih hidup atau setelah mati,” begitu ancaman Allah yang disampaikan kepada Nabi Sulaiman.
Pada suatu kesempatan Nabi Sulaiman segera menyampaikan wahyu itu kepada Ashif. Betapa terkejutnya Ashif, sehingga ketika itu pula ia melarikan diri keluar istana menuju padang pasir membenamkan wajahnya dengan air mata yang tidak pernah kering seraya mendongakkan kepala dan menengadahkan kedua belah tangannya untuk memanjatkan do’a:
“Wahai Tuhanku dan Penghuluku, Engkau adalah Maha Mulia dan Maha Pengasih, sedangkan aku merupakan hamba yang hina dan penuh dosa. Bagaimana aku bisa bertaubat jika saja Engkau tidak memperkenankannya. Bagaimana pula aku bisa terhindar dari segala dosa jika saja Engkau tidak menjauhkannya?!.”
Segera saja Allah memberi wahyu kepada Nabi Sulaiman:
“Benarlah apa yang telah dikatakan Ashif, memang Aku Yang Maha Mulia dan Maha Pengasih, sedangkan Ashif merupakan seorang hamba yang hina dan penuh dosa. Aku tela menerima taubatnya sesuai dengan sifat-sifat-Ku yang Maha Pemberi taubat dan Maha Pengasih.”
Nah, betapa Allah telah berlaku begitu murah terhadap Ashif.
Begitulah perilaku Ashif pada permulaannya, namun ketika telah bertaubat kepada Allah, ia diberi karunia mampu untuk menyelami ismul A’zham sehingga ketika Nabi sulaiman menghendaki untuk memindahkan singgasana Ratu Bilqis, dalam sekejap mata singgasana itu telah berpindah berkat do’a yang dibacanya, dimana Nabi Sulaiman yang mengamini dari belakang.
Ya Allah, jadikanlah dosa-dosa kami sebagaimana dosa mereka yang Engkau kasihi. Jadikan pula pahala kami sebagaimana mereka yang Engkau sayangi. Janganlah pula Engkau jadikan sebagaimana dosa atau pahala mereka yang Engkau murkai.

■■■

Tidak ada komentar:

Posting Komentar