Rasulullah dan para shahabatnya bukanlah figur-figur yang selalu bertudung nikmat duniawi. Bahkan seringkali tungku dapur beliau sendiri hanya berasap beberapa kali saja dalam seminggu, sebagaimana kesaksian Ummul Mu’minin ‘Aisyah Ra, yang mengatakan bahwa acapkali dalam tiga hari yang ada hanya air dan sedikit kurma. Kita dengar pula bahwa beliau tidak pernah kenyang selama dua hari berturut-turut.
Dan ketika wafat, beliau tidak meninggalkan apa pun kecuali hanya sebuah pedang, seekor keledai dan tanah yang sudah diwaqafkan pula. Tidur beliau pun hanya beralas kulit yang disamak. Acapkali tidur di atas tikar daun kurma hingga ketika bangun tampak guratan-guratan di tubuhnya.
Sering pula tidur malam dalam keadaan lapar, namun paginya tidak terhalang untuk berpuasa. Padahal jika saja beliau berkehendak untuk bernikmat-nikmat di dunia ini, semuanya akan terwujud. Itulah zuhud Rasulullah Saw, sehingga ‘Aisyah pernah mengatakan:
“Seringkali perut Rasulullah aku usap sedemikian rupa, tiada lain karena kulihat beliau tampak lapar. Ketika itu aku pun mengatakan:
“Diri ini rela menjadi tebusanmu wahai Rasulullah. Alangkah baiknya jikalau engkau mempunyai bekal yang cukup untuk makan kita sehari-hari. Namun beliau menjawab:
“Untuk apa aku bersusah payah mengurusi dunia. Bagaimana jika aku bersandingan dengan para Ulul ‘Azmi dan para Rasul yang lain di akhirat nanti?. Mereka telah berlaku begitu sabar dalam menghadapi kesulitan perjuangan melebihi apa yang aku alami. Terbukti mereka bisa lolos dan menghadap Allah dengan membawa kemuliaan yang besar. Aku akan malu jika saja bahagianku di akhirat nanti lebih sedikit dari pada mereka. Padahal harapan terbesar yang selama ini menjadi cita-citaku adalah bisa berdiri sama tinggi dan duduk pun sama rendah dengan mereka itu.”
Bandingkanlah dengan keadaan kita, seringkali perut ini selalu penuh sehingga jarang sekali meraskan pahitnya lapar. Padahal sebagaimana sabda Rasulullah bahwa seluruh penyakit itu sebagian banyak tersebab dari akibat makanan, sehingga Rasulullah selalu berusaha agar perut tidak penuh, dimana tindakannya itu berdampak positif terhadap kesehatan tubuhnya. Beliau tidak pernah sakit terkecuali sekali saja menjelang wafatnya.
Herannya, Islam menyebar sedemikian hebat di masa beliau, shahabat dan tabi’in melalui figur-figur yang sering kelaparan, namun hati mereka betul-betul bagaikan baja dalam siap memperjuangkan kebenaran.
Acapkali Rasulullah beserta para shahabatnya kehabisan makanan, dan seakan tidak berdaya menghadapi situasai yang tidak kondusif itu. Namun sering pula beliau mendapat bantuan Tuhan berupa mu’jizat hingga makanan yang sedikit dapat mencukupi berpuluh-puluh orang. Di antaranya apa yang disebutkan oleh shahabat Jabir ketika mengerjakan penggalian parit menjelang perang Khandak. Ia bertutur demikian :
“Ketika kami menggali parit menjelang perang Khandak, penggalian yang menjadi bagian kami terhalang oleh batu hitam yang begitu besar sehingga kelancaran kerja kami terganggu. Maka segera saja kami melapor kepada Rasulullah Saw. Secepat itu pula beliau turun sendiri mengatasi batu itu, padahal perut beliau tampak kempis hingga diganjal sebuah batu yang dililit dengan kain. Tiga hari tiga malam perut kami tidak terisi makanan.
Setelah berhadapan dengan batu itu, Rasulullah berdiri tegak kemudian batu itu dihantamnya dengan gancu hingga hancur berkeping-keping. Demi menyaksikan sendiri keperkasaan beliau semacam ini, kami merasa takjub sekali, begitu cepat penghalang itu bisa teratasi.
Setelah pekerjaan itu selesai, maka aku mohon izin beliau untuk pulang sebentar. Dan begitu beliau memberi izin, aku pun segera pulang menemui isteriku seraya aku katakan:
“Dinda, aku melihat perut Rasulullah begitu rupa, tampaknya kelaparan beliau sudah tidak bisa ditolerir. Adakah dinda masih mempunyai sedikit makanan?,” tanyaku.
“Oh ada, gandum sedikit yang belum ditumbuk dan seekor anak kambing,” jawab isteriku.
Kemudian dengan segera anak kambing itu aku sembelih dan kupotong-potong sedemikian rupa. Sementara isteriku menumbuk gandum itu dan memasukkannya ke dalam periuk. Daging kambing itu pun kami campurkan dalam periuk tersebut kemudian kami masak di atas tungku. Setelah kami perkirakan hampir matang, segera saja aku pergi menemui Rasulullah Saw seraya kukatakan:
“Wahai Rasulullah, aku mempunyai sedikit makanan, untuk itu aku mohon engkau pergi ke rumahku disertai satu atau dua orang saja,” pintaku.
“Berapa banyak makanan itu,” tanya Rasulullah.
“Satu kuali yang tidak besar, ya Rasulullah,” jawabku.
“Oh, itu banyak sekali, enak pula,” tukas beliau.
“Sekarang juga katakan pada isterimu, janganlah periuk itu diangkat dari tungku, jangan pula nasi gandum itu dituangkan sampai aku datang ke sana,” sambung beliau.
Namun sebelum aku beranjak, betapa terkejutku dimana ketika itu beliau berteriak memanggil:
“Wahai para shahabat Muhajirin dan Anshar, pergilah kalian ke rumah Jabir.”
“Celaka ini, padahal porsinya hanya untuk dua atau tiga orang,” gumamku.
Dengan tergopoh-gopoh aku pun berlari pulang menemui isteriku dan aku beri tahu mengenai kehendak Rasulullah Saw. seraya kukatakan padanya:
“Celakalah kau, betapa seluruh shahabat Muhajirin dan Anshar ditambah kawan-kawan mereka akan datang kemari bersama Rasulullah untuk menyantap makanan yang hanya cukup sedikit orang. Namun dengan tenang isteriku bertanya:
“Apakah Rasulullah telah menanyakan porsi makanan kita?.”
“Ya, sudah,” jawabku.
“Kalau begitu kanda tak perlu panik,” sahut isteriku lagi.
Mereka pun datang di depan pintu, kemudian Rasulullah mengatakan:
“Masuklah kalian seluruhnya dan jangan berdesakan.”
Setelah seluruhnya duduk berjajar, maka Rasulullah mulai mencibuk sedikit demi sedikit beserta daging yang menjadi lauk, kemudian dihidangkan di depan para shahabat satu persatu, namun aku lihat periuk dan tungkunya itu selalu dalam keadaan ditutupi. Beliau terus bertindak demikian sampai seluruh yang hadir merasa kenyang dan malah masih bersisa. Sejenak kemudian Rasulullah memanggil isteriku seraya menyuruh:
“Makanlah kau juga, dan berikan sisanya pada mereka yang belum makan, sebab situasi tampaknya tidak kondusif, kebanyakan mereka belum makan.
Itulah sebagian dari mu’jizat Rasulullah. Hal ini bukan termasuk hipnotis atau sihir yang bisa dipelajari. Mu’jizat seperti ini pada sekali kesempatan diperlihatkan beliau pada para shahabatnya, di antaranya akan berfungsi sebagai pengakuan Allah terhadap kerisalahan beliau.
■■■
Kamis, 07 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar