Syeikh Hatim Al-Asham, yang terkenal karena tulinya, dimana gelar itu didapatkan ketika ada seorang gadis yang sedang berada di kedainya untuk membeli barang keperluannya, namun tiada terduga, dari pantatnya keluar angin yang cukup keras. Dalam kondisi seperti itu, si gadis merasakan malu yang alang kepalang. Namun setelah bertanya mengenai harga sebuah barang, Syeikh Hatim pura-pura tuli, sehingga di panggil beberapa kali tampak tidak mendengar, demi untuk menutupi rasa malu si gadis itu. Terbukti sikap Hatim ini bisa menggembirakan hati si gadis. Namun tak pelak lagi, si gadis itu malah sering memberi gelar baru pada beliau, sehingga gelar itulah yang terkenal di masyarakat, si Hatim Asham atau si tuli.
Beliau merupakan murid terdekat Syeikh Syaqiq Al-Balkhiy (Iran Utara) selama tiga puluh tiga tahun, sehingga pada suatu hari sang guru mengatakan :
“Wahai Hatim, sudah berapa lama kau menjadi muridku, dimana aku sendiri sudah lupa sejak kapan kau menjadi muridku itu.”
“Kalau tidak salah sudah tiga puluh tiga tahun ini wahai guru, terus ada apa wahai guru !”. begitu tanya sang murid lebih lanjut.
“Apa saja pelajaran yang telah kau dapat dariku.” sambung sang guru lagi.
“Kalau tidak salah, aku telah berhasil mengumpulkan serta menyerap delapan masalah”. jawab si murid pula.
“Inna lillahi wa inna ilahi rajiuun, hanya itu”.si guru terperangah.
“Kalau begitu umurku akan habis, sementara kau hanya memperoleh delapan masalah, betapa mengherankan wahai Hatim”. sambung Syeikh Saqiq lagi.
“Wahai guru, aku sudah tidak mampu lagi untuk menambah pelajaran selain yang delapan itu, dan aku tidak akan mau untuk berdusta”. tukas si murid menjabarkan.
“Apa saja delapan masalah itu”. lanjut sang guru.
“Wahai guru, selama ini aku telah menguraikan pikiranku, ternyata setiap orang yang hidup di dunia mestilah ada sesuatu yang dicintai. Boleh jadi hal itu berupa materi atau pun anak dan isteri dan lain-lain. Aku cermati pula, ketika mereka itu mati, maka apa pun yang dicintai pasti ditinggalkan begitu saja tanpa ada yang bisa bersamanya di dalam sebuah kubur. Aku segera membuat siasat baru, perkara apa yang kiranya bisa bersamaku ketika nanti aku telah dikuburkan. Maka aku segera menemukan. Tiada lain adalah amal-amal kebajikan, itulah yang bisa bersamaku di dalam kubur. Dengan demikian segera saja amal-amal itu aku perbanyak untuk bekal yang akan menyertaiku nanti ketika aku telah mati.” begitu tutur si murid.
“Bagus, bagus sekali falsafahmu wahai Hatim”. tukas sang guru.
“Kemudian apa yang nomor dua ?” sambung Syeikh Syaqiq pula.
“Aku telah memikirkan dan mencermati firman Allah :
Dan adapun orang-orang yang takut akan kebesaran Tuhannya serta menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. Maka sesungguhnya surgalah yang akan menjadi tempat kediamannya (QS. 79 : 40 ).
“Aku telah menyadari,”sambung Hatim lagi” bahwa apa yang dikatakan Allah seratus prosen adalah bernar. Konsekuensinya, aku segera berusaha sekuat tenaga untuk mengekang hawa nafsu, kemudian aku arahkan kepada berbagai ibadah dan ketaatan lain, terbukti nafsu itu menurutkan apa yang menjadi kehendakku.
Ketiga, setiap orang yang miliki kekayaan akan berusaha sekuat tenaga untuk membela dan melindungi kekayaannya itu, namun setelah aku memikirkan firman Allah :
Apa yang di sisimu akan lenyap (habis), dan apa yang di sisi Allah adalah kekal (QS. 16 : 96 ).
Dengan demikian jika saja ada harta atau kekayaan yang jatuh dalam tanganku, maka segera aku arahkan kepada kepentingan Allah agar menjadi kekal, terjaga pula di sisi-Nya.
Yang ke empat, selama ini aku telah meneliti dan mengamati bahwa seluruh kemuliaan yang dibangga-banggakan manusia itu berpangkal pada harta, keturunan, pangkat dan ras masing-masing. Setelah kita pikirkan masak-masak, ternyata semua itu hanyalah bayangan maya, dan sangat relatif. Namun ketika aku membuka Kitabullah yang menjadi tuntunan manusia, di sana aku temukan :
Sesungguhnya orang yang paling mulia dari kamu sekalian adalah mereka yang paling takwa (QS. 49 : 13 ).
Sejak itu aku berusaha keras untuk meraih martabat takwa yang setinggi-tingginya dengan harapan akan menjadi orang yang paling mulia di sisi Allah.
Yang ke lima, telah begitu lama aku mencermati pada kehidupan ini, dimana perjalanan hidup manusia selalu diwarnai dengan saling memperolok, saling mengumpat dan saling menjatuhkan antara orang yang satu dengan yang lain. Peneyebab semua itu tiada lain adalah kedengkian yang telah marak pada hati masing-masing orang. Namun setelah aku mencermati firman Allah :
Kami yang telah menentukan penghidupan mereka ketika hidup di dunia ini, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat agar sebagian mereka dapat mempergunakan pada sebagian yang lain (QS. 43 : 32 ).
Setelah menyadari semuanya, aku segera menjauhi kedengkian serta menghindar dari mereka yang bersikap dengki, sebab nasib dan bagian setiap orang sdi dunia ini telah ditentukan oleh-Nya. Dengan demikian tidak akan ada manfaat jika aku harus mendengki atau memusuhi orang lain.
Yang ke enam, aku cermati pula behwa dalam hidup ini ternyata sebagian besar manusia masih memakai hukum rimba, dimana yang kuat, dialah yang menang. Oleh karena setiap kelompok selalu merasa yang terkuat dan yang paling berkuasa, maka terjadilah apa yang terjadi. Mereka saling bunuh antar kelompok dan antar sesama, saling fitnah dan saling hujat. Sikap seperti itu penyebabnya hanya satu, yaitu syetan. Padahal Allah telah mengatakan :
Sesungguhnya syetan itu musuh bagimu, maka anggaplah ia sebagai musuh.
( QS. 35 : 6 ).
Langkah lebih lanjut, aku jadikan dia sebagai musuh satu-satunya dengan mengenyampingkan makhluk-makhluk yang lain, disamping selalu berjaga-jaga diri agar tidak diserobot tipu dayanya. Sikapku yang seperti ini tiada lain telah didorong oleh kebijaksanaan Allah yang telah mempersaksikan bahwa dia adalah musuh yang nyata.
Ke tujuh, aku lihat seluruh manusia telah berlomba-lomba untuk mencari satu dua suap makanan untuk mengganjal perut mereka. Hal ini telah menjerumuskan mereka pada saling menghinakan dan sering pula terperosok pada makanan yang tak halal bagi mereka, disamping banyak pula yang berlebihan mengurus perut, padahal aku telah mencermati sebuah ayat :
Dan tiadalah sesuatu yang merangkak di bumi ini terkecuali Allah jua yang memberi rizki ( QS. 11 : 6 ).
Kemudian aku sadari bahwa diriku ini termasuk sesuatu yang merangkak. Dengan demikian rizkiku juga telah ditanggung Allah. Selanjutnya aku tinggal mengerjakan apa yang diwajibkan Allah kepadaku, dan tidak mengurus lagi apa yang telah menjadi tanggung jawab Allah.
Ke delapan, telah aku cermati dan aku teliti pula, ternyata kebanyakan manusia itu selalu menyandarkan kehidupannya pada makhluk atau pada tuan-tuan yang dianggap memeberi rizki kepada mereka, dimana sikap seperti itu betul-betul berseberangan dengan apa yang telah difirmankan Allah :
Dan barang siapa bertawakal kepada Allah niscaya Dia akan mencukupkan segala keperluannya (QS. 65 : 3 ).
Mengetahui jaminan Allah tersebut, aku bulatkan tekadku untuk bertawakal kepada Allah, terbukti Dia selalu mencukupi keperluanku.
Mendengar penuturan Hatim Al-Asham ini, Syeikh Syaqiq Al-Balkhiy mengatakan :
“Wahai hatim, kau telah mendapat taufiq dan hidayah Allah, sebab aku sendiri sering menjelajahi isi kitab Taurat, Injil, Zabur dan Al-Qur’an, dimana pangkal kekuatan agama dan berbagai macam kebajikan adalah berorientasi pada delapan poin yang telah kau utarakan itu. Dengan demikian barang siapa melaksanakan delapan butir masalah yang kau sebutkan itu berati telah melaksanakan isi kitab yang empat itu.
Semoga bermanfaat bagi kita dan bagi anak turun kita serta orang-orang Islam semuanya. Amin ◙
Kamis, 31 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar