Kamis, 31 Desember 2009

Mahalnya Sebuah Kejujuran

Biasanya seorang pedagang itu akan begitu gembira jika barang perniagaannya laku keras dengan laba yang berlipat ganda. Apalagi jika mendengar bahwa barang-barang yang diperdagangkan sekarang naik, maka dengan segera seluruh barang itu segera diubah labelnya dengan harga yang telah di patok oleh pasar, kendati ketika belanja dahulu harganya jauh dibawah harga pasar sekarang. Para pembeli pun demikian, jika saja mereka mendengar barang-barang naik, biasanya mereka akan mencari sasaran pada toko-toko yang berada di pelosok yang belum mendengar informasi kenaikan harga. Dengan maksud mereka akan segera memborong barang-barang yang ada sehingga akan dijual lagi dengan mendapat untung yang berlipat ganda, gila memang. Dan setelah pemilik toko menyadari bahwa seluruh harga kebutuhan ternyata telah naik, maka hanya bisa melongo dengan penyesalan yang tidak ada habisnya.
Dikisahkan bahwa Yunus bin Ubaid memiliki sebuah kedai yang berisi aneka ragam perhiasan, ada yang seharga dua ratus dirham, ada pula yang empat ratus dirham. Namun ketika ia asyik menunggui kedainya, maka azan terdengar dikumandangkan dari sebuah masjid yang tidak jauh dari tempatnya. Segera saja ia memanggil kemenakannya untuk menggantikan menunggu kedai itu, sedangkan Yunus segera bergegas untuk melaksanakan shalat dengan berjamaah.
Pada kesempatan itulah datang seorang badui yang memasuki kedainya untuk membeli sebentuk cincin. Kemenakan itu segera mengambilkan deretan cincin yang berlabel empat ratus dirham, namun dengan tidak sengaja di dalam kotak itu terdapat pula cincin yang seharga dua ratus dirham. Ironisnya, si badui itu malah memilih yang seharga dua ratus dirham itu kendati sang kemenakan mengatakan bahwa harganya empat ratus dirham (karena memang tidak mengerti). Dan transaksi pun berjalan dengan lancar. Namun ketika si badui itu melangkahkan kaki untuk meneruskan perjalanannya, ia bertemu dengan Yunus bin Ubaid yang sedang pulang dari berjamaah. Demi melihat perhiasan yang tersemat di kelingking badui itu, Yunus segera mengucapkan salam lantas menanyakan, “Berapa harga sebentuk cincin yang telah dibelinya itu ?”.
Dengan lugu dan terus terang si badui mengatakan : “empat ratus dirham”.
Mata Yunus bin Ubaid terbeliak, dan segera menggandeng tangan badui itu untuk kembali ke kedainya.
“Ayo kita kembali ke kedai, akan aku ganti dengan cincin yang seharga empat ratus dirham!”.
“Tuan, perhiasan seperti ini di daerah kami harganya bisa mencapai lima ratus dirham. Dengan harga empat ratus dirham itu aku sudah puas, tuan !” begitu sahut badui menunjukkan kepolosannya.
“Mari kita menuju kedai, sebab membuat bahagia (nasehat) itu wajib dilaksanakan oleh setiap orang yang mengaku Muslim. Sikap seperti itu akan lebih baik dari pada dunia beserta segala isinya.” begitu sahut Yunus tidak kalah tegasnya.
Setelah sampai di kedai, Yunus segera menyodorkan cincin yang seharga empat ratus dirham. Namun si badui tetap memilih cincin yang di bawanya itu. Sehingga Yunus segera menyodorkan uang kembali sejumlah dua ratus dirham pula. Setelah itu tidak henti-hentinya Yunus menghujat kemenakannya itu.
“Adakah kau, “kata Yunus”, tidak malu kepada Allah, tidak pula mempunyai rasa takut kepada-Nya. Kau telah mengambil untung sebesar harga cincin itu sendiri dengan cara meninggalkan nasehat pada setiap Muslim.”
“Demi Allah, si badui itu tidak merasa dirugikan dengan transaksinya tadi, wahai paman”. bantah kemenakannya pula.
“Bagaimana jika pengalaman seperti itu menimpa dirimu sendiri ?”.
Kemenakannya itu pun segera diam seribu bahasa.
Pernah pula Syeikh Sary As-Saqathy membeli buah pala yang teronggok dengan harga enam puluh dinar. Kemudian ia menargetkan bahwa pala itu harus dijual dengan harga enam puluh tiga dinar, yang berarti ia akan beruntung tiga dinar. Tiba-tiba saja sehari setelah transaksi itu, harga buah pala naik drastis sehingga diperkirakan milik Syeikh Sary akan laku di atas sembilan puluh dinar. Seorang penghubung yang terkenal shalih bertanya kepada beliau :
“Berapa target harga yang engkau pasang mengenai buah pala itu, wahai Syeikh Sary ?”.
“Enam puluh tiga dinar sudah cukup”. begitu kata Syeikh Sary.
“Sekarang milik tuan itu diperkirakan akan laku sembilan puluh dinar, tuan”. sahut si penghubung lagi.
“Aku telah mematok harga itu, dengan demikian tidak akan aku lepas terkecuali dengan enam puluh tiga dinar”. sergah Syeikh Sary pula.
“Akupun begitu pula, tidak akan membawa pala milik tuan itu kecuali dengan harga sembilan puluh dinar. Aku tidak mau menipu seorang Muslim”. sahut penghubung tidak kalah tegak pula.
Kemudian keduanya pun berpisah dengan tanpa membawa hasil yang dimaksud. Betapa aneh tindakan seperti ini.
Begitu pula apa yang dilakukan oleh Syeikh Muhammad bin Munkadir, selaku pengusaha kain yang terkenal. Dimana pada suatu hari ia menjajakan dagangannya, yang sebagian seharga sepuluh dirham dan sebagian yang lain seharga lima dirham. Namun ketika ia pergi sebentar untuk keperluan yang lain, disuruhnya seorang sahaya miliknya untuk menunggui kain tersebut. Maka datanglah seorang badui yang membeli kain itu. Dan ia mengambil kain yang seharga lima dirham, namun oleh sahayanya ditawarkan dengan harga sepuluh dirham. Terbukti si badui itu langsung menyodorkan lembaran uang sepuluh dirham dengan tanpa menawar lagi. Maka setelah Syeikh Muhammad kembali, dan bertanya mengenai para pembeli, ia begitu sontak ketika mendengar bahwa kain yang seharga lima dirham telah terjual dengan harga sepuluh dirham. Segera saja kedainya ditutup dan sahaya itu diajaknya untuk mencari si badui tadi. Seharian penuh Syeikh Muhammad mencari-cari. Dan ketika hari mulai senja, si badui itu baru ditemukan.
“Wahai saudaraku, “kata Syeikh Muhammad”, sahayaku tadi telah keliru mengambilkan kain, dimana kain yang seharga lima dirham kau bayar dengan sepuluh dirham.” Syeikh Muhammad mengawali pembicaraan.
“Tuan, aku telah puas mendapatkan kain tadi, kendati telah aku bayar dengan kekeliruan menurut tuan”. sahut si badui berlaku polos pula.
“Jika kau puas, sebaliknya aku yang tidak puas, “kata Syeikh Muhammad”, sebab orang lain itu harus aku pandang sebagaimana diriku sendiri. Dengan demikian sekarang kau harus memilih tiga alternatif. Pertama, aku mengembalikan uang lima dirham kepadamu. Kedua, aku tambahkan kain yang seharga lima dirham lagi atau. Ketiga, masing-masing uang dan kain itu dikembalikan pada pemilik asalnya dan tidak ada transaksi ulang. Pilihlah salah satu dari ketiga pilihan itu !”.
“Berikan saja kepadaku uang lima dirham, hal itu lebih mudah dan sangat ringan melaksanakannya.” pinta si badui lebih lanjut.
Maka Syeikh Muhammad segera menyodorkan uang lima dirham dan di terima si badui dengan ucapan terima kasih. Namun setelah si badui itu beranjak beberapa langkah, ia segera bertanya pada orang-orang yang dijumpai :
“Siapa orang tua itu ?”.
“Beliau adalah Syeikh Muhammad bin Munkadir”. begitu jawaban masyarakat.
“La ilaha illal’lah Muhammadur Rasulullah ,”si badui terkaget-kaget”. Beliau adalah orang yang sering kami sebut ketika meminta hujan dalam shalat istisqa’ sebagai penghantar sebuah do’a.”
Dengan penuh kekaguman si badui itu meneruskan langkahnya kendati seluruh persendiannya seakan luruh ketika menyadari apa yang telah dialaminya.
Sering pula khalifah Ali bin Abi Thalib mengadakan inspeksi di sebuah pasar Kufah dengan membawa sebuah tongkat seraya berteriak-teriak :
“Wahai para pedagang, berlakulah dengan penuh tanggung jawab dan kebenaran, dengan demikian kalian akan menuai keselamatan. Jangan pula kalian menolak sedikit laba, hal itu akan menutup pada laba yang lebih banyak lagi ◙

Tidak ada komentar:

Posting Komentar