Asy-Syafi'i sendiri pernah mengatakan: “Aku belum pernah kenyang selama 16 tahun ini, sebab kenyang berimplikasi berat pada tubuh dan mengesatkan hati, serta akan mengurangi kecerdasan, malah akan sering menarik untuk segera tidur dan membuat malas untuk beribadah.
Umar bin Khathab Ra pada sebuah kesempatan memarahi putrinya dengan mengatakan:
“Wahai Hafsfah anakku, aku bersumpah kepada Allah. Adakah engkau lupa ketika Rasulullah Saw., tidur dengan mengenakan sebuah baju tidur sehingga tidur beliau begitu nyenyak. Namun setelah beliau terjaga, maka segera saja mengatakan:
“Kalian telah menghalangiku untuk shalat malam karena menyediakan baju tidur yang cukup bagus ini. Untuk itu bawalah kemari baju tidur yang biasa aku kenakan agar tidurku berjalan seperti biasa sehingga aku tidak meninggalkan shalat malam”.
Dikisahkan bahwa Wahab bin Munabbih Al-Yamani adalah seorang figur yang tidak pernah menaruhkan lambungnya selama tiga puluh tahun. Pada sekali kesempatan ia mengatakan :
“Akan lebih baik saya melihat syetan di rumahku dari pada aku melihat bantal. Sebab bantal akan mengajakku untuk segera tidur.”
Adapun bantal yang dipakai Wahab adalah berupa onggokan kulit domba, yang ketika kantuk sudah tidak dapat ditahannya lagi, ia akan memukulkan ke dadanya kemudian segera bangkit untuk melaksanakan shalat sunnah.
Posisi tidur, menurut Asy-Syafi’i tidur dapat dibagi empat macam. Pertama, tidur dengan menyandarkan tengkuk, yang demikian itu adalah sikap para Nabi, mereka sering berfikir mengenai apa pun yang berada di langit dan di bumi. Kedua, tidur miring ke kanan, yang demikian itu sikap para ulama dan ahli beribadah. Ketiga, tidur miring ke kiri, yang merupakan kebiasaan seorang raja dengan maksud agar makanan di perutnya segera tercerna. Keempat, tidur dengan muka tengkurap, ini merupakan gaya syetan.
Rasulullah Saw bersabda:
Tidur orang yang alim akan lebih baik dari pada ibadah orang yang bodoh. Sesungguhnya Allah tidak menghilangkan ilmu dengan cara melalaikannya dari para hamba-Nya. Namun dengan jalan mencabut kehidupan para ulama. Maka ketika tidak ditemukan lagi orang-orang ‘alim, maka banyak manusia yang mengangkat pemimpin dari orang-orang bodoh. Dan ketika ditanya, segera saja mereka memberi fatwa dengan tanpa dasar ilmu. Jadilah pemimpin bodoh itu orang sesat serta menyesatkan orang banyak.
(Muttafaq ‘Alaih dari Abdullah ibn ‘Amr) ■
Rabu, 25 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar