Sabtu, 28 November 2009

Sampai Dimana Kegunaan Tes IQ 2

Beda alat, beda yang diukur
Tes IQ yang sering dipakai di Indonesia adalah tes Binet dan Weeshler. Kedua tes ini sebenarnya merupakan alat yang sudah dikembangkan sejak lama. Psikolog asal Perancis, Alfred Binet dan Theodor Simon, mulai merancang suatu alat evaluasi yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan kelas-kelas khusus (kemampuan di bawah ratarata). Alat itu dinamakan tes Binet-Simon yang kemudian direvisi pada tahun 1911.
Tahun 1916, Lewis Terman, seorang psikolog dari Amerika membuat banyak perbaikan dari tes Binet-Simon. la menetapkan indeks numerik yang menyatakan kecerdasan sebagai rasio (perbandingan) antara usia mental (mental age) dengan usia kronologis (chronological age). Hasil perbaikan ini disebut tes Stanford-Binet. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun.
Tes Binet-Simon atau tes Stanford-Binet dinilai masih terIalu umum. Para ilmuwan kemudian mengetahui bahwa intelegensi tidak hanya terdiri dari satu faktor yang umum, namun juga terdiri dari faktor-faktor yang lebih spesifik. Berdasarkan teori tersebut, dikembangkanlah teori yang disebut teori faktor. Alat yang dikembangkan menurut teori faktor ini adalah WAIS (WechsIer Adult Intelligence Scale) untuk orang dewasa, dan WISC (Wechsier Intelligence Scale for Children) untuk anak-anak. Skala ini lebih dikenal dengan skala Wechsier, yang melihat intelegensi sebagai kapasitas seseorang untuk mengatasi masalah sehari-hari menggunakan pengetahuan yang dia miliki.

Faktor genetik dan keturunan
Keturunan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi hasil tes IQ. Penelitian membuktikan bahwa korelasi nilai tes 10 dari satu keluarga adalah sekitar 0,5. Pada anak kembar, korelasinya sangat tinggi, yaitu 0,5). Sedangkan pada anak adopsi, sekitar 0,4-0,5 dengan orangtua kandung, dan 0,1-0,2 dengan orangtua angkatnya. IQ anak kembar yang dibesarkan secara terpisah tetap berkorelasi sangat tinggi. Intelegensi tentunya tidak bisa terlepas dari otak. Perkembangan otak ini sangat dipengaruhi oleh gizi yang dikonsumsi. Selain gizi, rangsanganrangsangan yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan juga memegang peranan yang amat penting. Karenanya, faktor lingkungan dapat menimbulkan perubahan yang berarti.
Oleh karena itu, Indri menegaskan tentang pentingnya kejelasan tujuan dilakukannya tes IQ. Hendaknya tes IQ dilakukan untuk melihat kelebihan dan kekurangan yang ada pada anak. Hal ini penting agar orangtua dan guru dapat memberi stimulasi sesuai dengan kebutuhan anak.
Berdasarkan pengalaman di klinik, Indri banyak menemukan kasus anak yang memiliki skor IQ bagus, tapi prestasi akademisnya rendah. Atau anak dengan skor 10 biasa saja, tapi eukup popuier di sekolah karena memiliki rasa percaya diri untuk mengembangkan potensinya.
Sebagai sebuah alat ukur kecerdasan, tes IQ memang satu-satunya alat yang dapat dipakai sampai saat ini. Namun, untuk kepentingan pengoptimalan potensi anak, Indri lebih suka dengan istilah "evaluasi psikologis". Karena dengan evaluasi psikologis, orangtua atau guru dapat membantu anak sesuai dengan permasalahannya. MisaInya, anak yang kurang pemahaman bahasanya perlu dibantu agar meningkat pemahaman bahasanya.
Untuk evaluasi psikologis, tidak hanya tes IQ yang dibutuhkan. Tes IQ tanpa wawancara sebenamya tidak bisa berbicara. Karena skor tersebut berhubungan dengan masa Ialu, pola asuh, hubungan orangtua dengan anak, kebiasaan belajar, karakter anak dan lingkungannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar