Jumat, 27 November 2009

Ragi Tradisional

Instant ragi
Nenek moyang pulau Jawa kita sebetulnya juga sudah lama mengetahui dan memperdalam tehnologinya tentang ragi Saccharomyces ini. Entah siapa yang meneliti pertamakalinya dulu, tapi tahu-tahu sudah menjadi applied technology yang diterapkan di mana-mana, bahwa campuran Saccharomy­ces vordermannii, S. cerevisiae dan S. oryzae yang terkandung dalam air tebu dapat dijinak­kan, digiring dan ditahan sebagai “instant ragi" dalam bu­latan tepung beras seperti parem, yang sewaktu-waktu bila diper­lukan dapat diremas lagi, ke­mudian ditabur-taburkan di atas bahan apa saja yang mau dibadekkan, singkong rebus (peuyeum), ketan item (tape uli) dan sebagainya. Tapi pembuatan “biakan murni" (ragi) Saccharomyces ala rakyat ini juga memerlu­kan persiapan microbiology tertentu yang harus dipatuhi benar, supaya tidak keselunda­pan macam-macam bakteri dan cen­dawan lainnya.
Resep yang masih dapat kita catat dari Primbon Pusaka Nenek Moyang ialah sebagai be­rikut:
Satu elo potongan batang tebu (di jaman kuno dulu me­mang belum ada stelsel met­rik), harus dipanggang satu hari lamanya di atas asap da­pur kuno yang masih pakai ka­yu bakar dari hutan itu, supa­ya kering secara pelan. Maksudnya supaya cairan tebu itu menjadi begitu buruk keadaannya, sampai semua bakteri, ragi dan cendawan terpaksa mengambil sikap, untuk menghadapi segala ke­mungkinan, dan berubah ben­tuk menjadi spora yang lebih tahan terhadap kekeringan.
Setelah dikupas dan di-po­tong kecil-kecil, tebu kering ini ha­rus ditumbuk halus sampai ja­di tepung, dalam lumpang yang bersih dan kering pula. Sementara itu harus kita bu­atkan pula substraat (tempat hidup) berupa tepung beras satu kati dan ramuan bumbu-­bumbu berupa 30 siung ba­wang putih, 2 jari kayu ma­nis, 2 iris laos dan beberapa buah lombok sekedarnya, yang semuanya harus digerus lu­mat menjadi tepung pula. Bumbu ini dimaksudkan sebagai desinfectans, yang mencegah serbuan bakteri pembusukan yang biasanya suka membu­sukkan tepung beras.
Tepung beras dan tepung bumbu kemudian diayak dulu. Dan hasil ayakannya yang lembut dicampur dengan te­pung tebu kering tadi. Semuanya kemudian diberi air hangat, supaya dapat digelindingi menjadi bulatan pi­pih yang kecil. Tapi proses penggelindingan ini tidak bo­leh dilakukan ditempat yang ada anginnya.
„Ora ilok !" kata nenek ahli ragi kita dulu, yang lazim­nya memang wegah memberi ulasan berita apa-apa. Tapi mikrobiologis, itu ada­lah usaha pencegahan jangan sampai benih cendawan dan bakteri lain (terutama bakteri cuka Acetobacter) dari udara ikut-ikut mengotori bulatan tepung berisi ragi yang sedang dibuat itu, sehingga ragi ini membuat asam bahan yang diragikan.
Pembuat ragi itu sendiri ha rus bebas kuman (steril) ju­ga! Dan selain tangan dan pa kaiannya harus bersih, ia ma­sih wajib mengemut air dalam mulutnya pula, supaya tidak akan menganga mengeluar­kan abab (nafas dari mulut) berisi macam-macam kuman mulut yang bukan-bukan! Semuanya itu dikategorikan sebagai “ora ilok" kalau ketentuan ini kita langgar.
Bulatan tepung yang sudah jadi disebut ragi tape, ke­mudian harus cepat-cepat dikeringkan di atas tampah bersih, yang kemudian masih harus di tutup pula dengan jerami kering yang harus dijemur di si­nar matahari selama 3 hari, dan diasap de­ngan api kecil dari dapur ku­no, hasil pernbakaran ampas tebu (sepanjang malam), sela­ma 3 malam. Dengan pengeringan dan pengasapan berganti-ganti ini, bermacam-macam bakteri da­pat musnah total (seperti pe­musnahan yang terjadi pada pasteurisasi saja), tapi spora­-spora ragi dan cendawan ti­dak. Cuma loyo saja!
Maksud pengerjaan ini ia­lah mengawet sel-sel ragi ber­asal dari sari tebu tadi supaya mengumpul dalam satu kamp konsentrasi (tepung beras), dan ndekem sebagai spora yang resisten, tahan mengha­dapi segala kemungkinan dan ketidakmungkinan. Barulah ragi yang sudah menjadi instant ragi ini siap siaga untuk disimpan lama, asal kering dan bersih dalam kaleng tertutup.
Sewaktu-waktu kalau diper­lukan, ia akan segera beraksi meragikan bahan yang kita sodorkan, untuk menghasilkan alkohol yang disebut tape, ba­dek, peuyeum, dan lain-lain istilah yang maknanya kurang lebih begitu juga. Tapi dengan sya­rat, bahan harus cukup lem­bab, dan disekap dalam ruang angan tertutup, jangan kema­sukkan udara sama sekali. So­alnya, ragi itu baru mau be­kerja, kalau lingkungannya bebas oksigen. Lagi pula, alko­hol yang terbentuk akan te­tap tinggal berbentuk alkohol terus, kalau tetap tidak kena oksigen, sehingga tape yang kita pungut dapat tetap tinggi kadar alkoholnya.
Tatkala tempat peragian itu bocor, atau dibuka tutupnya oleh anak nakal yang kepingin ngintip, maka oksigen dari udara yang masuk akan kontan mengoksidkan sebagian dari alkohol yang ter­bentuk menjadi asam cu­ka, tape kecut namanya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar