Penderita Rapuh Tulang
Karena penyakit rapuh tulang yang diderita, tangan kiri serta kedua kaki Solikin tidak bisa digunakan. Bahkan, di usianya yang bam sembilan tahun, ia telah mengalami patah tulang sebanyak 23 kali. Meski demikian, niatnya untuk sekolah tidak surut. Bagaimana perjuangan bocah SD ini meraih cita-cita-nya? Berikut kisahnya.
Kendati tersiksa penyakit rapuh tulangnya, Solikin berharap ia bisa sekolah. Siang itu, suasana halaman Sekolah Dasar I Kutuk, Kudus tampak dipadati para murid yang asyik bermain. Maklum, saat itu memang jam istirahat. Beberapa di antara murid berlarian, bercanda sesama temannya. Namun, kondisi berlainan justru terlihat di ruang kelas Tiga. Beberapa murid nampak masih betah berada di dalam kelas. "Kami sengaja istirahat di kelas menemani Solikin," kata seorang murid.
Ternyata, di antara murid kelas tiga itu ada seorang bocah yang mengalami penyakit rapuh tulang, dialah Solikin (9). Bocah yang tinggal di Jl. Wihara Buddha Santi, RT-04/RW04 Desa Kutuk, Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus ini yang tidak seberuntung teman-temannya. Dengan tangan kiri yang masih terbalut perban dan kedua kakinya yang lumpuh dan berbentuk melengkung, Solikin nyaris tidak bisa melakukan apa-apa kecuali hanya duduk dan menggerakkan tangan kanannya saja.
Saat disapa Solikin terlihat begitu shock. Dari bibirnya nyaris tidak mengeluarkan sepatah kata pun selain memanggil ibunya yang memang setia menunggunya di luar kelas.
"Sudah Mas, kasihan dia, mungkin dia malu kepada teman-temannya," kata Sutijah (35), ibunya, Selasa (28/11).
Sutijah menceritakan bahwa putranya baru saja mengalami patah tulang untuk yang kali ke-23 dan diberi perawatan di RSUP Kariadi Semarang. Solikin divonis menderita rapuh tulang yang membahayakan jiwanya. Untuk itu, ia harus menjalani operasi tulang ketika ia sudah berumur 18 tahun nantinya.
Penyakit yang dialami oleh Solikin berawal ketika ia baru berumur lima tahun. Saat itu Solikin selalu mengeluh sakit pada kaki dan tangannya. "Akhirnya kekhawatiran saya menjadi kenyataan, Mas," lanjut Sutijah. Kekhawatiran yang dimaksud Sutijah sangat beralasan. Sebab, sebelum Solikin, empat anaknya yang lain juga menderita penyakit yang sama. Tragisnya, dua anak laki-laki dan dua anak perempuannya meninggal dunia.
"Kakak-kakaknya semuanya telah meninggal dunia saat berumur tiaak lebih dari dua tahun karena penyakit yang sama," ujarnya sedih.
Lebih lanjut Sutijah menceritakan bahwa penyakit yang diderita putra kelimanya tersebut adalah faktor keturuanan. Sumari Sikih (40), suaminya, juga menderita penyakit yang sama. Beruntung Sumari sikih saat ini masih hidup meski kesehariannya ia sudah tidak sanggup lagi bekerja untuk menghidupi keluarganya.
"Berjalan saja sulit, apalagi bekerja, Mas," katanya.
Praktis saat ini Sutijah harus berjuang seorang diri untuk menghidupi diri, anak, dan suaminya. Meski demikian, ia tetap berusaha agar anaknya bisa disembuhkan. "Semua anak saya mati karena penyakit ini. Saya tidak ingin kehi-langan Solikin," ucapnya sembari menitikkan air mata.
Harapan Sutijah atas kesembuhan Solikin amat besar. Meski demikian, ia mengaku tidak mempunyai cukup uang banyak untuk membawa anaknya berobat ke rumah sakit. Penghasilannya sebagai peternak jangkrik yang hanya Rp 40.000 setiap bulan, membuatnya pasrah dan berharap uluran tangan orang lain untuk membiayai
Sabtu, 28 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar