v Yang Merusak
Pengambilan terus-menerus jelas merusak keindahan pemandangan yang menakjubkan di alun-alun puncak G. Gede itu. Para petinggi negara tahun 30-an menjadi khawatir, kalau sembung "edelweis" langu di tempat itu jadi punah. Maka, dikeluarkanlah semacam permen (peraturan menteri) yang disebut Natuurbeschermingsor donantie tahun 1941, untuk menyatakan puncak G. Gede sebagai cagar alam, termasuk alun-alun tempat tumbuh "edelweis".
Cagar alam ialah daerah yang dianggap mempunyai keindahan alam yang nilai budayanya tinggi, sedangkan dari segi sains pun "tak ternilai" hartanya. Sayang bukan, kalau pelestariannya untuk kepentingan umum (rakyat banyak) tidak diurus baik-baik?
Dalam ordonansi perlindungan alam itu memang tidak disebut secara khusus "dilarang memetik bunga edelweis", tapi dalam pasal 5 butir 2 dinyatakan dengan jelas, "dilarang melakukan sesuatu yang .berakibat mengubah keadaan tanah dan pertumbuhan flora (dan fauna) sampai mengganggu keaslian cagar alam". Memetik edelweis di alun-alun puncak G. Gede termasuk mengganggu keaslian cagar alam, karena kalau yang wemetik itu beramai-ramai, (kalau satu dibolehkan, semua minta dibolehkan juga), pohonnya jelas gundul.
Kemudian ada perang dengan Jepang dan revolusi kemerdekaan. Ordonansi itu tidak jalan. Baru sesudah kita mempunyai Menteri Negara Urusan Kependudukan dan Lingkungan Hidup-lah, ordonansi itu jalan lagi. (Sem) barang siapa melanggar larangan dalam pasal 5 di atas dihukum kurungan setinggi-tingginya 3 bulan atau setinggi-tingginya 500 gulden. Pada tahun 1941, denda sebesar itu memang bukan main mencekik leher, tapi pada tahun 1990, nilai rupiahnya bergantung pada tafsiran hakim pengadilan negeri masing-masing. Biasanya kurang mencekik.
v Kane yang Dibakar
Dalam praktek, jarang sekali ada yang dimejahijaukan, hanya karena memetik sembung langu dari G. Gede itu. Orang yang ketahuan membawanya ke luar pagar akan disita bunganya, dicatat KTP-nya dan dibuat malu di depan khalayak ramai. Mudah-mudahan orang itu masih mempunyai budaya malu, lalu menyebarkan berita hangat: "Wah! Satpamnya galak! Jangan coba mengambil edelweis!"
Diam-diam ia menjadi penyambung lidah para petugas pelestarian alam. Ternyata kemudian, Anaphalis javanica itu juga tumbuh di lereng G. Agung (3.124 m) di Pulau Bali. Di sana pun, dulu ada semacam pengurasan bunga itu oleh para turis, sampai para petani Besakih di lereng selatan mempunyai gagasan untuk bertanam pohon itu, lalu menjual bunganya kepada turis. Mereka berhasil menanamnya di pekarangan rumah, karena tanah mereka kebetulan tanah vulkanik, yang tingginya lebih dari 2.000 m di atas permukaan laut. Tempat tumbuh yang memang disukai oleh bunga itu.
Orang Bali sendiri memakai ranting kane (Balinya edelweis) sebagai semacam dupa dalam acara keagamaan. Ranting yang sudah kering, kalau dibakar bisa mengeluarkan asap putih yang tebal bagus dan tahan lama.
v Tersesat di Padang Edelweis
“Ajakan kawan-kawan untuk mendaki Pegunungan yang di daerah Besuki saya terima dengan senang hati,” begitu kata Fuad mengawali ceritanmya. Mereka berpesan dengan sangat, agar saya tidak memetik bunga edelweis yang tumbuh di puncak Argopuro setmggi 3.080 m di pegunungan itu. Sebab, tanaman yang indah itu termasuk langka, khas flora gunung.
Jalan yang menanjak ke puncak gunung itu membuat napas ngos-ngosan. Biarpun berat, namun setapak demi setapak jalan itu kami lalui juga dan akhirnya kami sampai di puncak.
Selesai menikmati pemandangan alam yang bukan main indahnya dari puncak yang sepi itu, kami turun. Kawan-kawan tidak ada yang berhenti, waktu mendekati daerah yang ditumbuhi edelweis. Kelihatannya mereka tidak tertarik dengan bunga itu. Mungkin sudah bosan, tapi saya yang berjalan paling belakang, sengaja menyimpang jalan untuk menuju ke tempat tumbuh edelweis.
Sampai di tengah kerumunan tanaman itu, saya benar-benar takjub. Bunganya yang putih bergoyang-goyang indah sekali, kalau ada angin bertiup. Sepanjang mata memandang, hanya edelweis yang terlihat. Begitu banyak bunga itu, sampai saya tergoda ingin tahu lebih dekat. Saya menerobos sela-sela tanaman itu dan tak tahu lagi berapa lama berada di situ untuk menikmati keindahannya.
Ketika hendak kembali ke tempat pertama, saya bingung. Celaka! Betul-betul saya kehilangan arah, lalu ngawur saja jalannya. Namun, sampai lama sekali jalan semula itu tak dapat saya temukan. Kemudian hari jadi gelap, tapi saya masih saja terjebak di tengah hutan. Karena amat lelah, terjerembablah saya di bawah pohon pinus yang besar. Di mana-mana gelap dan saya memeluk dahan pohon, untuk menghalau ketakutan. Kadang tubuh saya hampir jatuh ketika kantuk menyerang. Mata saya lalu berkunang-kunang, kepala pening, perut lapar dan kaki terasa berat. Rasanya, hari terakhir saya sudah datang. Tak tahulah apa yang terjadi malam itu. Baru pagi harinya saya merasa diangkat orang dan mulut saya diberi air. Ah! Ada orang yang menolong saya.
Gara-gara terpikat oleh keindahan edelweis, saya menyimpang dari jalan yang benar, lalu mengalami "mimpi" buruk.
Minggu, 29 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar