Kecantikan Bunga Edelweis
Bunga edelweis ternyata ada dua. Edelweis (satu s) jawa dan edelweiss (dua s) Swis. Keduanya pernah menjadi bunga pujaan, sampai ada lagu yang diciptakan untulrnya. Sama indahnya dengan nama bunga itu.
Bunga dari Swis itu sudah sejak sebelum PD I dulu terkenal ke seluruh dunia. Ia diwartakan hanya mau tumbuh di pegunungan tinggi saja dan tumbuhnya pun di tempat-tempat yang sulit, seperti lereng terjal dinding batu, misalnya. Atau celah-celah batu gunung. Kalau ada yang bisa memetik dan membawanya pulang, wah, bukan main bangganya. Itu bukti nyata, bahwa ia sudah betul-betul mendaki gunung paling tinggi dan berbahaya.
Tanaman itu makin ngepop, setelah Rogers dan Hammerstein mempopulerkan lagu Edelweiss ke seluruh penjuru dunia. Benar-benar mengharu rasa lagu ini, sampai dipakai dalam Film The Sound of Music. Filmnya juga bagus, sehingga diputar berbulan-bulan lamanya di bioskop-bioskop Jakarta tahun 70-an dulu.
v Si Putih yang mulia
Sebenarnya, bunga itu tidak begitu bagus. Hanya putih saja. Akan tetapi karena ia tumbuh di antara batu-batu gunung yang hitam kator, maka weiss (putih)nya lalu kelihatan mencolok sekali edel (mulia)nya. Tanaman yang di kalangan ilmuwan beredar sebagai Leontopodium alpinum ini berupa terna tegak, yang hanya 15 cm aaja rendahnya. Batangnya lunak tak berkayu dan kalau mati tidak ada yang tersisa. Ia disebut alpinum karena tumbuh asli di Pegunungan Alps (kata orang Inggris) atau Alpen (istilah Jerman Tinggi).
Aneh sekali, daunnya yang hijau berbulu pendek. Begitu pula bunganya yang majemuk kecil-kecil kuning yang dikelilingi kerah dari kelopak bunga yang putih seperti perak. Semuanya berbulu pendek seperti felt (kain laken), tapi kadang-kadang juga ada yang diwut-diwut seperti beledu.
Setelah makin ngetop popnya dan makin banyak turis asing mengunjungi, bunga itu seperti dirampok habis-ha,bisan. Beberapa perkumpulan pelestari alam lalu menarik bayaran di pintu keluar daerah edelweiss, dengan maksud agar peminatnya direm, jangan sampai menggebu-gebu. Hasil punglinya akan dipakai untuk biaya pembibitan bunga itu. Jadi tidak akan punah kalau dipungut terus-menerus.
Di beberapa daerah yang kepalanya menyangsikan keberhasilan pelestarian melalui pungli itu, mencoba melestarikan bunga. dengan melarang sama sekali pengambilannya dari lingkungan hidupnya. Banyak juga yang kecewa. Untunglah dunia luar Swis kemudian tahu, bahwa bunga yang dikomersialkan itu juga tumbuh di lereng selatan Pegunungan Alpen, di wilayah Italia. Tumbuhnya mbludak, lagi, sampai membentuk karpet putih di tengah hijaunya lapangan berumput yang luas sekali. Ah! Untuk apa bersusah payah mencari edelweiss dari lereng Pegunungan Alpen Swis, kalau begitu, sudan sulit dilarang lagi!
Ternyata kemudian, di Pegunungan Himalaya Asia daratan dan Cordilleras de los Andes Amerika Selatan pun ada edelweiss Leontopodium, meski agak berbeda. Edelweiss Himalaya, Leontopodium alpinum stracheyi misalnya, seakan-akan berbunga besar, karena kelopak yang mengelilingi mahkota panjang lebar dan kasar. Diduga bahwa itu karena penyesuaian diri tanaman itu dengan curah hujan yang luar biasa di Himalaya. Untuk bertahan di tengah alam yang hujannya lebih kejam daripada di Eropa itu, kelopak bunganya berbulu lebih kasar daripada edelweiss Swis. Seperti mantel penolak dingin orang-orang Nepal saja.
v Edelweis Satu S
Tahu-tahu beredar pula berita "sungguh mati", bahwa di Indonesia juga ada edelweis. Tumbuhnya di daerah dinginnya pegunungan, yang paling sedikit setinggi 2.000 m di atas permukaan laut, seperti puncak G. Cede (yang tingginya 2.958 m) di Jawa Barat, misalnya. G. Dempo (3.159 m) di perbatasan Bengkulu dan Sumatra Selatan, Sindoro (3.135 m) di Jawa Tengah dan Arjuno (3.239 m) di Jawa Timur. Akan tetapi edelweis Jawa (pakai satu s) itu ternyata berbeda sekali dengan edelwiess (dua s) Swis. Sebelum edelweis Jawa, Anaphalis Javanica, disebut "edelweis," Ia sudah lama beredar dengan nama sembung langu (di G. Gede), capo gunung (di Dempo), widodaren (di Arjuno) dan sindoro (di Jawa Tengah). G. Sindoro di daerah itu disebut begitu karena banyaknya pohon itu.
Tanamannya memang berupa pohon. Batangnya berkayu, sebesar pergelangan tangan. Tingginya bisa 4 m. Akan tetapi, meskipun jauh sekali berbeda dengan edelweiss Swis yang berupa terna kecil mungil itu, ia masih sesuku (Compositae) dengan Leontopodium. Seperti kerabat-kerabat Compositae lainnya, (bunga matahari, serum dan dahlia), bunga widodaren itu juga majemuk, membentuk karangan bunga yang berkumpul di ujung tangkai. Warnanya tidak weiss lagi, tapi kuning gading.
Mungkin karena hanya tumbuh di pegunungan tinggi saja dan tahan lama disimpan kering, maka ia mengingatkan seorang Belanda dari zaman voor de oorlog dulu pada bunga edelweiss dari Swis, lalu menyebutnya "edelweis" juga. Orang Indonesia tidak mungkin menyebutnya begitu, karena sudah menyediakan nama daerah sendiri masing-masing.
Di alun-alun yang terbentang di antara tepi kawah G. Gede dan Gemuruh, Kabupaten Cianjur, dapat kita nikmati pemandangan yang menakjubkan dari hamparan bunga edelweis Jawa ini. Sejauh mata memandang, hanya kuningnya bunga dan hijaunya daun diliputi bulu pendek seperti kain laken saja yang terlihat. Dari jauh tampak putih abu-abu seperti diliputi salju.
Mungkin karena terpesona melihat keindahan bunga yang menakjubkan itu, para pengunjung puncak G. Gede dulu selalu memetik bunga itu sebagai cendera mata. Bunga itu memang tahan lama disimpan kering, sampai berbulan-bulan tetap mengkilat cerah, lalu lama pula dijadikan kenang-kenangan di rumah, berikut "sahibul hikayat" seperlunya.
Setiap tamu yang bertandang akan diceritai betapa langkanya bunga itu. "Tidak ada yang tumbuh di Jakarta!" Kalau dipetik masih kuncup, bisa mekar kemudian sambil mengeluarkan bau harum. Sayang, berbunganya hanya di musim kemarau, antara bulan April dan Agustus. Benar-benar langka.
Minggu, 29 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar