Imam syafii dan uskup nasrani
ama lengkap Imam Syafi'i adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsnian bin Syafi' Asy-Syafi'i Al-Muthalibi dari Bani Muthalib bin Abdi Manaf. Dengan demikian nasab beliau bertemu dengan Rasulullah pada kakeknya yang keempat yaitu Abdi Manaf, dan Imam Syafi'i merupakan ke-turunan yang ke sembilan dari Abdi Manaf itu. Ibunya berasal dari Yaman dari suku Azdi.
Imam Syafi'i dilahirkan di Ghuzah, termasuk daerah Asqalan (Syria), pada tahun 150 Hijriyah. Namun Asqalan sendiri bukanlah daerah tempat tinggal ayah dan ibunya, hanya saja ketika ayahnya
bepergian ke daerah itu, dia wafat di situ, bertepatan pula dengan ibunya yang melahirkan dirinya di daerah itu pula. Setelah umurnya menginjak dua tahun, Imam Syafi'i dibawa ibunya ke daerah asalnya yaitu Makkah. Namun beberapa bulan kemudian ibunya meninggal dunia pula di Makkah. Maka hiduplah Imam syafi'i sebagai yatim piatu.
Di dalam usia dini itu beliau telah hafal Al-Qur'an, pikirannya begitu cerdas, sehingga beliau berminat sekali untuk menghapal berbagai syair suku Hudzail yang ter-kenal berlidah petah. Beliau belajar pula pada seorang Syeikh yang menjadi mufti Makkah ketika itu, yaitu Muslim bin Khalid Az-Zanji, belajar pula pada Imam Malik bin Anas selaku Imam daerah Madinah dan ahli hadits yang mempunyai kitab hadits terkenal Al-Mu-watha}. Imam Syafi'i mempelajari kitab itu di depan Imam Malik dengan begitu tekun.
Pada suatu hari ketika Imam Syafi'i berada di Makkah, dia bertemu dengan seorang yang mengenakan pakaian uskup sedang melakukan thawaf mengelilingi Ka'bah. Pemandangan ini betul-betul tampak ganjil (karena-sungguh aneh bito ada seorang uskup yang sedang berthawaf). Lama Imam Syafi'i berfikir, adakah layak jika dirinya ber-tanya mengenai sikap uskup itu yang seakan mudah ber-paling dari agama asal yang telah dipeluknya selama ini.
Namun akhirnya Imam Syafi'i memutuskan untuk bertanya. "Apa yang menyebabkan anda berpaling dari agama leluhur anda yang selama ini telah anda peluk?" begitu Imam Syafi'i melontarkan pertanyaan.
"Aku telah mengganti dengan agama yang lebih bagusP* jawab nskup yang ternyata telah memeluk agama Islam.
"Bagaimana pula hal itu bisa terjadi?" sambung Imam Syafi'i lagi,
"Begini, pada suatu hari aku pergi ke suatu daerah untuk kepentingan missionaris dengan menaiki sebuah sampan yang cukup besar. Setelah sampan itu berada di tengah samudera, tiba-tiba saja angin ribut datang begitu kencang dan ombak pun bergulung-gulung mengamuk dan menghajar sampan kami sampai tenggelam. Untung-nya ketika itu aku mendapat pegangan sebilah papan yang cukup mengapungkan diriku. Lama kelamaan aku ter-dampar di sebuah pulau kecil yang ditumbuhi pepohonan begitu rindang. Aku lihat pula pepohonan itu banyak yang berbuah. Dan ketika aku mencoba merasakannya, betapa lezat buah-buahannya, manisnya bagaikan madu, begitu lembut pula. Setelah aku melangkah lebih jauh lagi, aku dapatkan pula sebuah sungai yang mengalir begitu jernih, seakan surga dunia. Mulutku tiada henti-hentinya memuji .syukur ke hadirat Allah yang telah menyelamatkan jiwaku, sehingga ketika itu dengan tenang aku bergumam, "Aku akan makan buah-buahan dan meminum air sungai ini sepuas-puasnya sampai hari nanti Allah akan memberi keputusan mengenai hidupku ini.y
Namun ketika hari mulai malam, aku merasa takut juga, jangan-jangan banyak hewan melata yang akan menggangguku malam nanti. Untuk itu segera saja aku memanjat sebatang pohon dan tidur di atas dahan (bagai--kan Tarzan, barangkali!). Ketika di pertengahan malam itulah aku melihat seekor hewan air yang amat besar, ia
mendongakkan kepalanya di atas air seraya membaca tasbih, ftLa ilaha Illa,l3lah Al-Ghaffar, Muhammadur Rasulul'lahAn-NMyyulMukhtar". (Tiada Tuhanselain Allah Tang Maha Pengampun. Muhammad itu utusan Allah, juga seoranpf Nabi yang menjadi pilihan ).
Setelah aku amati, hewan itu merangkak ke daratan. Semakin lama, semakin jelas, kepalanya seperti burung kasuari, sedangkan wajahnya seperti manusia. Kakinya seperti kaki onta, sedangkan ekornya bagaikan ekor ikan. Ketika itu aku sangat takut. Begitu takutnya sampai aku segera turun dari pohon dan melarikan diri sekencang-kencangnya. Namun tiba-tiba saja hewan itu berkata, "Ber-henti! Kalau tidak berhenti, kau akan segera menjadi bangkaidisini!"
Aku pun segera berhenti, kemudian dia mendekatiku seraya mengatakan, "Apa agamamu?"
"Nasrani!" jawabku singkat.
"Celaka kau, wahai orang bangkrut. Segeralah kau memeluk agama yang diridhai Allah, sebab kau telah men-jamah suatu kawasan di mana penduduknya terdiri dari para jin Muslim. Dengan demikian tidak ada jaminan ke-selamatan terkecuali bagi seorang Muslim pula," begitu kawan hewan itu.
"Bagaimana cara memasuki agama Islam itu?" tanya-ku lagi.
"Ucapkan kalimah syahadat, Asyhadu Anla ilaha illal'lah wa asyhadu anna Muhammadar RasuluPlah " sambung hewan itu lagi.
Aku pun segera mengucapkannya. Sejenak kemudian hewan itu bertanya lagi, "Kau ingin menetap di sini atau ingin pulang menemui keluargamu?"
"Aku ingin segera pulang!" jawabku singkat. "Tetaplah di situ saja, nanti akan ada sampan yang melintas di dekat tempat ini," sahut hewan itu lagi.
Sejenak kemudian hewan itu pun kembali mcnyelam dalam air, namun tiba-tiba ketika itu melintas pula sebuah sampan yang sudah banyak penumpangnya. Segera saja tahgan ini aku lambaikan untuk memanggilnya. Tanpa diduga, sampan itu segera mendekatiku dan mengangkut-ku untuk segera pergi. Namun anehnya para penumpang itu setelah aku hitung berjumlah dua belas orang, di mana seluruhnya beragama Nasrani. Pada kesempatan itulah aku menceritakan nasib dan ketakjuban yang baru saja aku alami. Mereka tampak sangat heran dan takjub sekali me-ngenai kejadian ini, sehingga seketika itu pula mereka me-nyatakan kelslamannya tanpa kecuali.
Selasa, 24 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar