Tanggung Jawab Siapa?
Dunia di sekitar kita bisa saja makin ancur-ancuran, makin edan, makin full maksiat. Bahkan perilaku STMJ (shalat terus, maksiat jalan) jadi fenomena baru yang bikin geleng kepala. Siapa yang harus bertanggungjawab mengatasinya?
v Tanggungjawab diri
Allah telah mengilhamkan dalam setiap jiwa manusia potensi negatif (fujur) dan potensi positif (taqwa). Adalah menjadi tanggungjawab setiap diri untuk menyelamatkan akar ilahiyah (fitrah kesucian) tersebut dari pengaruh buruk, baik faktor ekstrinsik (luar) mau pun faktor intrinsik (dalam).
Kita bertanggungjawab atas amanah Allah swt berupa akal, pendengaran, penglihatan, usia, harta, ilmu dsbnya. Di hadapan Allah kelak di Padang Masyar, kita sendirian menghitung semua amal baik dan amal buruk yang kita perbuat di dunia. Kita tidak bisa menimpakan kesalahan kita pada siapa pun.
Ashabul Kahfi bersembunyi dan kemudian Allah tidurkan selama 309 th di dalam gua karena ingin menyelamatkan aqidah mereka dari penguasa yang zalim dan kondisi masyarakat yang bergelimang maksiat. Asiah, istri Firaun, dan Masyitah, tukang sisirnya, tetap teguh dengan keimanannya meski berada di pusat kemaksiatan (QS 66 : 11).
v Tanggungjawab kepala keluarga
Allah swt telah perintahkan orangorang beriman agar menjaga diri dan keluarganya dari api neraka. Dalam konteks umum, peran ini dijalankan oleh laki-laki. Sebagai bapak, ia bertanggungjawab atas penjagaan fitrah anak-anaknya dan sebagai suami, ia bertanggungjawab membimbing, membina dan mengarahkan istrinya pada jalan surga. Tanggungjawabnya meliputi tanggungjawab pemenuhan kebutuhan fisik, emosional, intelektual dan spiritual untuk anak-anak dan istrinya.
v Tanggungjawab istri
Dalam praktiknya, keshalihan kolektif dalam keluargaakan terwujud manakala terdapat keseimbangan tanggungjawab suami-istri dalam mengelola rumahtangga. Tanggungjawab suami bersifat global dan umum, menyangkut pemberian arah dan tujuan 'mau dibawa kemana' rumah tangga ini: surga atau neraka? Sementara istri lebih pada hal-hal detail, semisal masalah pengaturan keuangan dan belanja keluarga, menu makan, interior rumah, keperluan anak sehari-hari dan sebagainya yang secara prinsip harus sejalan dengan arah dan tujuan akhir keluarga. Tentu saja bukan berarti suami boleh abai dan tidak peduli terhadap hal-hal detail. Kuncinya adalah saling asah, saling asuh dan saling asih.
v Tanggungjawab da'i
Saat toleransi langit terhadap kemaksiatan yang merebak di bumi mencapai ambangnya, maka saat itulah manusia tak peduli, beriman atau kafir, akan merasakan dasyatnya azab Allah. Sejarah telah bercerita tentang kebinasaan kaum 'Aad, tsamud, kaum nabi Nuh, kaum bani Israil dan sebagainya saat Allah menunjukkan kekuasaan-Nya.
Oleh sebab itu, adalah menjadi tanggungjawab para da’i, penyeru jalan dakwah untuk mengingatkan manusia menjauhi maksiat. Kita tidak bisa berlepas tangan dan tidak peduli, apalagi merasa “yang penting saya tidak melakukan,” terhadap segala bentuk kemaksiatan yang terjadi di lingkungan. Adalah menjadi tanggungjawab kolektif kita semua untuk mengubah kemungkaran dengan menggunakan kekuatan kekuasaan, lisan, atau minimal melalui doa.
v Tanggungjawab pemimpin
Secara struktural, seharusnya para pemimpin dalam setiap level mengambil peran yang lebih besar dalam menahan laju kemaksiatan dan melindungi masyarakat dari bahayanya. Melalui perangkat undang-undang, peraturan dan kebijakan, para pemimpin negar a diharapkan mampu menghadirkan suasana sejuk, nyaman dan kondusif bagi berkembangnya potensi kebaikan rakyatnya. Tanggungjawab kepemimpinan berbanding lurus dengan ruanglingkup amanah kepemimpinan tersebut. Semakin besar wewenang dan kekuasaan seorang pemimpin semakin berat tanggungjawab yang harus dipikulnya.
Sabtu, 28 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar