Di antara jenis, varietas, dan hibrida yang makin lama makin banyak ini ada beberapa jenis yang tetap dibiarkan bertahan sebagai jenis. Tidak direkayasa gennya menjadi kultivar sesuai permintaan pasar bunga. Memang ia ditanam bukan untuk dinikmati bunganya, tetapi diambil piretrumnya yang ampuh menumpas serangga. Piretrum dipakai untuk membuat obat nyamuk bakar pada zaman sebelum ada obat semprot sintetik dulu.
Setelah dikeringkan dan dijadikan serbuk, bunga itu dicampur dengan tahi gergaji yang halus, lalu dicetak menjadi pelet melingkar yang dikeringkan. Kalau disulut, ujung yang terbakar mengeluarkan asap yang mematikan bagi nyamuk. Biang keladi pembunuhan ialah pyrethrin dan pyrethrosin. Kepekatan zat-zat ini sengaja dibuat rendah agar tidak berbahaya bagi orang yang menghirup asap semalam suntuk sambil tidur, tetapi sudah ampuh membunuh nyamuk.
Mula-mula dipakai jenis Chrysanthemum coccineum yang karena diambil piretrumnya, dulu dipandang sebagai jenis Pyrethrum dan beredar sebagai Pyrethrum roseum. Ia diperkebunkan di daerah Pegunungan Montenegro dan Dalmatia. Tetapi kemudian ternyata ia masih termasuk marga krisan Chrysanthemum.
Baru kemudian ditemukan Chrysanthemum cinerariaefolium yang lebih banyak menghasilkan piretrum. Jenis ini diperkebunkan secara besar-besaran di daerah Pegunungan Kenya, untuk diekspor ke Eropa dan Amerika.
Setelah ditemukan pyrethrin sintetik, tahun 1969, bunga krisan itu tidak begitu menggebu-gebu diperkebunkan lagi. Meskipun demikian, di beberapa media massa ia diperbincangkan lagi banyak-banyak, agar dipakai kembali dalam gerakan "kembali ke alam".
v Bunga Insektisida
Di Persia dan Yugoslavia dulu digunakan Pyrethrum untuk membasmi hama serangga sejak tahun 1800-an. Karena melihat sendiri keampuhannya, masyarakat mereka makin meningkat meminta tanaman itu, dan sejak 1828, Pyiethium diproduksi secara komersial di sana. Masyarakat Amerika Serikat pun pernah mempercayakan pengendalian hama serangganya pada tanaman ini, dan karena tidak dapat memenuhi permintaan dalam negeri, mereka terpaksa mengimpor piretrum. Pernah sampai sebanyak 13 juta ton (setahun).
Animo masyarakat untuk memakai insektisida dari tanaman mulai menurun seiring dengan ditemukannya insektisida sintetik DDT pada tahun 1940-an. Insektisida baru ini meskipun kecil, tetapi hebat, Selain murah, juga sangat tokcer membasmi hama, seperti kutu busuk di kursi-kursi bioskop, ulat berbulu, dan belalang perusak ladang. Umat manusia waktu itu merasa menang perang melawan hama serangga.
Tapi ternyata, keyakinan itu tidak berumur panjang. Muncul persoalan baru yang tidak kalah peliknya, yaitu resistensi serangga terhadap insektisida. Dosis yang harus disemprotkan makin lama makin tinggi, agar serangga tumpas, tetapi itu pun tidak menjamin bahwa oknum serangganya bakal KO. Rasa-rasanya makin banyak saja mereka itu!
Diduga bahwa setelah tahu ada rekannya menjadi korban, serangga yang tersisa menyusun pertahanan dengan kode-kode genetis baru, untuk menghasilkan enzim yang bisa menetralkan racun insektisida. Mula-mula memang hanya seekor dua yang mampu begitu, tapi karena yang segelintir ini menurunkan kemampuannya ke anak cucu, maka tidak mengherankan kalau pada akhirnya makin banyak yang tahan terhadap insektisida, sampai umat manusia terpaksa menciptakan jenis insektisida baru yang lebih tokcer.
Akan tetapi, usaha resistensi serangga juga berulang lagi. Beberapa petani menjadi judek, sampai akhirnya kembali ke cara penumpasan seperti nenek moyang lagi, yang memanfaatkan insektisida alami. Para pakar proteksi tanaman pun setuju untuk kembali ke alam ini, lalu mencari dan menelusuri tanaman apa saja yang berpotensi dan segera dapat dipakai. Ribuan dolar dihabiskan untuk riset dan berbagai seminar digelar!
Untuk memahami bagaimana duduknya perkara sampai ada insektisida berada dalam tanaman itu, kita perlu menengok sejarah hubungan antara serangga dan tanaman. Mereka sudah hidup bersama sejak jutaan tahun yang lalu. Para serangga menganggap tanaman sebagai sumber makanan, tetapi tanaman tidak rela kalau digigit tubuhnya, atau diisap sarinya. Ada yang mengadakan perlawanan. Celakanya, tanaman tidak bisa lari. Jadi, ia melawan dengan diam.
Diam-diam ia mengalokasikan sebagian energi yang dihasilkannya untuk diubah menjadi senyawaan yang tidak enak agar tidak disukai oleh serangga. Serangga yang kecewa berusaha menetralkan senyawaan perusak selera itu dengan enzim tertentu, sehingga yang terasa tidak enak masih bisa dinikmati lagi. Tetapi, tanaman pun membuat senyawaan baru lagi yang lebih canggih dan lebih tidak enak lagi; dan serangga pun mencoba menetralkannya lagi. Demikianlah, pertempuran dengan senjata kimia itu berlanjut, sampai akhirnya dalam tubuh tanaman terdapat senyawaan ampuh, yang siap ditangguk oleh manusia sebagai insektisida.
Minggu, 29 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar