v Seperti saninten
Di kampung Melayu, "Sacred Indian Lotus" tidak kita sebut lotus, tapi seroja. Tanaman ini serba besar. Bunganya hisa sampai 20 cm kalau mekar, dengan tangkai yang kaku dan jelek. Walaupun begitu, warna bunganya yang merah jambu dimanfaatkan oleh orang Hindu sebagai sesaji bagi dewa Brahma dari India.
Sesudah muncul agama baru yang disebar oleh Buddha Gautama, para pemeluk agama baru ini pun memakai seroja sebagai sesaji di candi-candi Budha. Biasanya berupa kuncup bunga bertangkai panjang, yang ditaruh dalam vas di tempat sesaji. Beberapa hari kemudian bunga itu mekar sendiri.
Seroja yang tumbuh liar di rawa dataran rendah pantai utara Jawa lebih banyak dimanfaatkan oleh penduduk Jakarta sebagai santapan jasmani daripada rohani. Mereka memungutnya dari rawa-rawa yang masih berupa rawa waktu itu, seperti rawa teratai, rawa belong, rawa mangun, rawa gatal.
Tangkai daunnya yang muda memang bisa disayur setelah dikerok kulit arinya yang kasar. Apalagi pucuk daun mudanya yang belum terbuka. Ini lumayan lezatnya kalau diurap atau dipecel. Daun yang sudah besar sampai bergaris tengah 30 Cm, dikumpulkan oleh penduduk tepi rawa untuk membungkus apa saja yang perlii dibungkus. Itu bisa mengganti daun pisang yang memang agak sulit ditanam di tepi rawa.
Bunga yang sudah diserbuki membentuk buah yang berbiji. Penampilannya tidak cantik lagi setelah mahkotanya luruh. Yang kini tampak hanya buahnya yang seperti penyemprot gembor. Mula mula menghadap ke atas, tapi kemudian merunduk karena tangkainya menyerah, keberatan muatan. Agaknya merunduk ini perlu, supaya kalau bijinya sewaktu-waku lepas karena sudah besar dan masak, jatuhnya ke tanah bisa mulus, tidak salah tingkah.
Biji ini biasanya hanya direbus dan dimakan sebagai kudapan, seperti biji lotus tentara Persia yang menyerbu Mesir dulu itu. Rasanya seperti kastanje, kata orang Belanda. Atau seperti biji saninten, kata mereka yang makan seroja, tapi belum pernah makan kastanje. Biji kastanje, Eropa Castanea sativa, kira-kira memang tidak beda jauh dari biji saninten Indonesia Castanea argentea.
v Tunjung plin-plan
Di India dan Asia tenggara juga ada sejenis Nymphaea yang berbunga putih seperti teratai Eropa, tapi plin-plan. Kadang bunga itu mepet di permukaan air, kadang mencuat di atasnya. Kalau air tempat tumbuhnya dalam, ia tumbuh mepet, tapi kalau airnya dangkal, ia mencuat. Seharusnya ia tidak boleh disebut teratai lagi, supaya tidak rancu. Dalam hal ini, bapak-ibu kita dari kampung Melayu dulu sudah memberi nama khusus: tunjung putih, Nymphaea nouchali.
Di India, bunganya yang putih dipakai sebagai sesaji kepada Dewa Siwa. Karena itu, tanamannya banyak yang sengaja dibudidayakan di berbagai kolam dekat candi supaya mudah dipungut kalau tiba-tiba diperlukan.
Ada sejenis Nymphaea dari India" dan Asia Tenggara juga yang bunganya biru lembayung. Kadang merah ungu. Berbunganya juga waktu siang seperti tunjung, dan oleh orang Hindu dipersembahkan kepada Dewa Wisnu, yang warna keramatnya biru lembayung. Tanaman yang lebih kecil daripada teratai dan lotus ini terkenal sebagai seroja biru, Nymphaea stellata. Terkadang masih disebut "teratai" biru, tapi sebaiknya dipanggil seroja biru saja, karena bunganya bertangkai panjang mencuat jauh di atas permukaan air seperti seroja-seroja pada umumnya.
v Untuk Ratu Victoria
Di Eropa dan Amerika, teratai yang tahan bernapas dalam lumpur musim dingin seperti teratai putih dikelompokkan sebagai hardy waterlily sedangkan jenis-jenis yang hidup di daerah tropis seperti Asia Tenggara dan Amerika Selatan, dikelompokkan sebagai tropical waterlily.
Seroja Nelumbo kita sebenarnya hidup asli di daerah tropis Indo-Australia, tapi sampai sekarang belum dimasukkan ke kelompok tropis ini. Mungkin sedang menunggu. Sejenis teratai tropis yang pernah menarik perhatian dunia ada yang dimasukkan ke Kebun Raya Bogor dari Sungai Amazonnya Brasil via London, kira-kira pada abad XIX, ketika Inggris mendapat giliran menjajah Pulau Jawa. Ini boleh dikatakan raksasanya bunga teratai. Daunnya bisa sampai 1,5 m garis tengahnya, sehingga sebagai penghias taman ia hanya cocok untuk kolam besar yang paling sedikit satu lapangan sepakbola luasnya.
Bertahun-tahun lamanya para peneliti botani Inggris mencoba menangkarkannya di Kebun Raya Kew, London, tapi selalu gagal memperoleh bibitnya. Baru pada tahun 1849 akhirnya mereka berhasil. Dari Kew ini, teratai raksasa itu disebar ke seluruh penjuru dunia yang berminat, termasuk Kebun Raya Bogor kita.
Bunganya yang putih agak kuning gading hanya mau mekar pada waktu senja. Sekalipun siang esok harinya agak layu, namun pada malam berikutnya ia masih bisa mekar lagi dengan semangat baru. Bunga yang berbau nanas ini dipersembahkan kepada Ratu Victoria yang berkuasa di Inggris waktu itu. Tanamannya dinobatkan sebagai Victoria regia. Ratu itu niscaya tidak pernah bermimpi bahwa namanya dipakai untuk memanggil tanaman yang bernapas dalam lumpur. Bunganya tidak setiap hari muncul, sehingga bagian yang selalu tampak hanya daun raksasanya yang menakjubkan, bulat pipih seperti tampah. Daya dukungnya begitu kuat, sampai ia dapat diduduki oleh seorang anak. Terutama anak kurang gizi.
Minggu, 29 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar