Puzzle 1:
"Mumtaz! Ayo, mandi, nanti kamu kesiangan sekolahnya!"
"Masih mau nonton, Bun. Film Franklinnya lagi seru!"
"NO! Bunda bilang mandi sekarang! Memangnya kamu bisa jadi pinter hanya dengan nonton Franklin?"
"Sebentar dong, Bundaaa..." "Kamu ini gimana sih? Mau nurut Bundaatau nggak?"
Aku bangkit dengan malas. Mengapa sih Bundaselalu mengancamku jika aku tidak mau melakukan sesuatu yang Bunda perintahkan!
"Cepet dong! Kamu nih lelet banget kayak kura-kura! Mau jadi kura-kura ya kamu?"
Hmmmmhhh.... Mana ada sih orang yang mau jadi kura-kura? Kura-kura kan binatang. Meski ia secerdik Franklin sekalipun, tetap saja kura-kura bukan manusia!
"Eh, kamu ini ya? Dibilangin kok masih belum beranjakjuga. Bundamatiih nih TV-nya! Hayo! Cepet!"
"Iya. iya, Bundaaa ...." Masih dengan malas, aku mengambil handuk bergambar kura-kura Franklin yang sudah disediakan Bunda di pojok kasur. Kulihat Bunda mondar-mandir, sibuk. Tadi ia baru saja meleidkkan teko air panas di dekat pintu kamar mandi untuk mandiku. Lalu ia tartipak sibuk menggoreng ayam dan kentang untuk bekal sekolahku. HP-nya terus berdering-dering. Sesekali ia mengotak-atik HP-nya sambil menggoreng atau menyiapkan seragam TK-ku. Mungkin ia sedang mengurusi bisnis pulsa elektriknya. Bunda yang selalu sibuk, cekatan, dan nyaris seperti tiddk butuh bantuan apapun.
Sambil mandi, aku masih mendengar Bunda ngomel panjang pendek.
"Payah anak sekarang! Zaman Bunda masih TK dulu, mana sempat malas-malasan; apalagi pakai acara nonfon kartun segala..."
lya, Bunda, tapi waktu Bundakecil, memangnya sudah ada stasiun TV lain selain TVRI, yang pagi-pagi sudah
menyiarkan film kartun? Bukannya Bundapernah cerita padaku, kalau waktu Bundakecil, TV-nya baru siaran jam 5 sore, dan hiburan satu-satunya kalau nggak ada TV ya... radio.
"Mumtaaaz, mandinya cepetan! Nanti kamu kedinginan jadi pinguin. Mau ya jadi pinguin? Mana ada pinguin yang jadi juara kelas?"
Huahahaha... kudengar ayah tertawa di ruang makan. Pasti menertawakan Bunda. lyalah, mana ada pinguin yang jadi juara kelas? Kan nggak ada pinguin yang sekolah? Lagian, masak sih kelamaan mandi bisa membuat seorang bocah sepertiku berubah jadi pinguin?
"Kamu itu lelet banget sih. Lihat Bunda, kek. Mana pernah Bundalelet? Kalau Bundasempat lelet sebentar
saja, mana bisa Bundangerjain banyak hal seperti sekarang? Lagian, dari kecil Bundanggak kenal istilah lelet. Bundaselalu bangun pagi, nggak pernah telat ke sekolah, makanya Bundajuara kelas terus"
lya, iya, Bundapintar, gesit, cekatan, dan seterusnya. Tapi aku masih mau main gelembung sabun nih... Hup! Kenaaa! Yay, berhasil, berhasil, horeee!
BRAK!
Bunda membuka pintu kamar mandi agak keras. Kontan aku kaget. Nah, sekarang Bunda berkacak pinggang sambil menatapku yang penuh dengan gelembung sabun.
"Addduuuh, bisa stress Bundakalau gini! Kamu ini maiiiin melulu! Cepetan dong! Memangnya kamu nggak bosan main?!"
Huaaa.... Bunda galak.... Takuuut....
Puzzle 2:
Bel pulang sekolah sudah lama berlalu. Aku masih asyik main jembatan gantung bareng Reza, Aldi, Fadil, Alvi, dan Maurice. Akhirnya aku bisa main dulu sebelum pulang.. Tadi Bundaada perlu sebentar. Yang lama juga nggak apa-apa kok, Bun. Betul deh...
Tiba-tiba dari jauh kulihat Bundaku sayang berlari ke arahku: Jilbab birunya
melambai-lambai tertiup angin. "Sudah, Mumtaz. Pulang yuk. Sudah siang."
"Yaaa, bentar lagi, dong, Bun. Lagi seru nih."
"Sudah! Kalau nunggu selesai serunya, nggak akan habisnya kamu main! Besok kan kamu masih bisa main lagi."
"Tapi besok kan Bundajuga pasti nggak kasih izin aku main!"
"Kalau dikasih tahu orangtua jangan suka jawab! Pulang! Atau kamu pulang sendirian ya?"
Tanganku dalam genggaman Bunda, sementara aku masih sempat menoleh iri pada teman-temanku yang belum juga disuruh pulang. Kenapa sih Bundanggak mengizinkanku main barang sebentar saja? Toh kalau aku sudah sangat capek dan haus, aku juga akan berhenti main...
Puzzle 3 :
"Aduuuh, Mumtaz, kamu main apa lagi sih?"
Aku merayap keluar kemahkemahanku, diikuti Vinda dan Ino, sepupuku yang tinggal bersebelahan dengan rumahku. Bundatampak sudah rapi dengan pakaian kerjanya.
"Main kemah-kemahan, Bun," Kami bertiga menjawab serempak.
"Kenapa mesti pakai bantal, guling, selimut, dan bed cover segala? Kan nanti Bundalagi yang beresin. Nggak! Bundanggak mau beresin. Kalian yang harus beresin semuanya! Sekarang! Cepat!"
Kami bertiga berpandangan dengan lemas. Yaaa, kan bed cover dan selimut itu susah banget melipatnya. Berat pula.
"Bun, nggak bisaa..." Vinda merengek, minta keringanan.
"No! Pasti bisa! Kan tadi kalian bisa membukanya.ladi kalian harus bisa melipatnya lagi"
"Berat kaaan..." Vinda berkeras minta keringanan.
"No! Cepat ya, Bundatunggu lima menit lagi, harus sudah rapi semuanya. Bundamau ngajar ke kampus dulu. Nanti kalian jangan nakal, jangan berantakan, jangan lupa minum susu, tolong kasih makan Franklin kita. Oya, jangan lupa, nanti kalian berangkat ngaji ke TPA, ya. Minta antar Tante Dewi aja. Jangan jajan di sana, kalau waktunya pulang harus langsung pulang, jangan main-main dulu. Udah ya, Bunda tunggu lima menit lagi. Cepat dong, jangan pada bengong di situ!"
Kami mulai bebenah dengan enggan. Apalagi kami juga sudah lupa dengan apa tadi yang Bunda perintahkan. Aduuuh, Bunda, kami masih mau main. Lagipula, Bunda terlalu banyak perintahnya sih. Kami kan nggak hafal...
Puzzle 4 :
Malam sudah menjelang. Bunda sudah pulang kantor dari tadi. Aku kangen sekali padanya. Bagaimana nggak kangen, meskipun Bunda cerewetnya ampun-ampunan, tapi aku nggak pernah ketemu orang yang sepintar Bunda, segesit Bunda, dan sepintar memasak seperti Bunda. Mana ada perempuan yang lebih hebat dari Bunda.
Tapi tadi, aku sempat cemas. Bunda berangkat mengajar saat hujan turun deras sekali dan guntur menggelegar. Aku takut Bunda kehujanan, lalu sakit. Atau ada apa-apa dengan Bunda di jalan. Perasaan seperti itu memang selalu ada setiap aku melepas Bunda pergi. Maka ketika Bunda pulang, aku senang bukan main. Dan malam ini, Bunda masih sibuk dengan laptopnya. Katanya menyiapkan bahan kuliah untuk esok hari. Tadi aku sudah dibacakan cerita tentang bayi Singa oleh Bunda. Waktu aku mau minta 'tambah° lagi, Bunda menolak. Katanya ia masih harus bekerja.
Tapi aku bosaaaan...
Dan inilah aku. Meloncat-loncat dari ujung kasur ke ujung yang lain. Tak lupa kubunyikan pistol-pistolanku, sambil menyanyi-nyanyi. Aku mau main!
Mulanya Bunda cuek. Tapi lamakelamaan ia mulai terganggu. "Bisa nggak kalau kamu nggak berisik?"
"Tapi aku mau main, Bun." "Memangnya kamu nggak capek main melulu sepanjang hari?" Memangnya Bunda nggak capek kerja dan ngomel melulu? Batinku iseng.
"Sekarang diam! Peluk boneka Franklinmu dan tidurlah. Besok kamu harus bangun pagi dan sekolah lagi. Sekarang minum susunya. Terus baca doa tidur."
Tapi aku belum mengantuk, Bunda. Batinku kesal.
Dan tak ada yang bisa kukerjakan selain berbaring dan memeluk Franklinku. Kulafalkan doa tidur perlahan. Bunda, aku ingin main. Aku juga kangen padamu...
Puzzle 5 :
Bunda menyambutku dengan pelukannya yang hangat di bahuku setiap aku keluar kelas saat ia menjemputku, seperti kali ini.
Aku terkekeh bahagia. Aku bangga pada Bunda. Bunda bekerja, tapi tetap bisa mengantar dan menjemputku.
"Temenin Bunda minum teh di Dunkin yuk, Mum? Kamu juga boleh beli donat atau orange juice."
"Mau teh juga ya, Bun? Tapi yang panas kayak yang Bunda minum" "OK, bos! Let's go!"
Siang itu, kami minum teh di Dunkin. Bunda banyak cerita. Aku juga demikian. Rasanya sudah lamaaa sekali kami tidak pergi berdua saja. Biasanya bertiga dengan Ayah atau beramai-ramai dengan saudarasaudara atau teman-teman Bunda. Bila berdua Bunda, aku bisa curhat tentang banyak hal pada Bunda dan demikian pula sebaliknya. Bunda memang mengajariku untuk berani curhat. Bahkan mengkritik Ayah dan Bunda juga. Dan itu membuatku, katanya sih, pandai mengungkapkan isi hati dan keinginanku, serta sudah nyambung kalau diajak ngobrol.
"Mumtaz, nggg... Bunda sebenarnya mau minta maaf sama Mumtaz..."
"Minta maaf kenapa, Bun?" "Yaaa... akhir-akhir ini Bunda galak banget sama kamu, sama Vinda, juga sama [no. Sebenarnya... Bunda lagi pusing...
"Bunda sakit?"
"Bukan, sayang...Bundaaa... Bunda harus pergi belajar ke luar negeri..." Naa? Aku kaget sekali. Lemas rasanya. Sepertinya tulangku ikut runtuh bersama... hatiku. Apa tadi? Bunda mau pergi?
"Luar negeri itu jauh ya, Bun?" "Jauh sekali, sayang. Jauh. Begitu jauhnya hingga Bunda mungkin nggak bisa pulang sesering yang Bunda mau. Kalaupun Bunda pulang, itu artinya Bunda sudah selesai sekolahnya, dan itu nanti saat kamu kelas dua SD... tiga tahun lagi..."
Ada kaca di sudut mata Bunda. Berkali-kali ia menunduk. Bundaku menangis.
Ya Allah, aku juga sedih. Sangat sedih. Bagaimana bisa aku dipisahkan dari Bunda? Kalau boleh aku memilih, aku tak ingin berpisah dengan Ayah dan Bunda. Biar aku kehilangan semua temanku, asal tidak ayah dan bundaku.
"Kenapa Bunda pergi? Apa bunda marah sama Mumtaz, Vinda, dan Ino? Karena kita nakal dan tukang main, karena kita lelet dan suka melawan Bunda ya?"
Bunda menggeleng lemah.
"Bunda sadar, kalian memang lag! masanya bermain. Bunda yang mungkin terlalu banyak aturan. Untuk itu Bunda minta maaf. Tapi Bunda berangkat ke luar negeri, ke Jerman, bukan karena itu, Sayang. Bunda harus sekolah lagi. Bunda harus terus sekolah, agartambah pintar."
"Bunda nggak usah sekolah ke luar negeri. Bunda sudah pintar sekali..."
"Belum, sayang. Bunda harus lebih pintar lagi. Boleh, Nak?"
Tiba-tiba kurasakan mataku memanas. Aku menangis. Aku menggelengkan kepalaku kuat-kuat. Bunda tidak boleh pergi! Sungguh, aku akan menukar apapun asal Bunda tidak pergi!
"Bunda jangan pergiii..."
"Eeeeh... Ihooo, kok kamu jadi nangis? Anak laki nggak boleh nangis Iho..."
"Biarin! Mumtaz nggak apa-apa nggak boleh main. Mumtaz nggak apa-apa Bunda bawel dan galak. Mumtaz nggak apa-apa nggak boleh berantakan. Asal Bunda nggak pergi..."
Bunda menatapku dengan matanya yang juga masih basah.
"Nanti kalau Bunda pergi, Mumtaz sama siapa? Siapa yang ngajarin Mumtaz baca dan bahasa Inggris? Yang nyeritain Nabi-Nabi dan binatang-binatang? Yang nemenin Mumtaz nonton SpongeBob? Yang nemenin kita-kita main game di komputer? Yang suka main binatang-binatangan sama kita-kita?"
"Kan ada Ayah, Tante Na, Tante Dewi, Mama Vinda, Papa Vinda, Nenek, Datuk... tuh banyak kan?"
"Tapi Mumtaz mau Bunda! Bunda nggak boleh pergi! Bunda sekolahnya di sini aja! Pokoknya Bunda nggak boleh pergi!"
"Ssshhhh, jangan jejeritan gitu, Sayang. Malu dilihat orang."
"Biarin! Bun, Mumtaz janji nggak
berantakan lagi, nggak nakal lagi, nggak malas lagi, nggak lelet lagi, nggak main melulu..."
Lama Bunda menatapku. Kayaknya Bunda sedang bingung.
"Kita pulang ya?"
"Bunda nggak jadi pergi kan?"
Hanya diam yang ada. Bahkan hingga malam, hingga waktunya tidur, Bunda hanya diam. Bahkan juga tidak bicara panjang-panjang pada Ayah, Tante Na, Tante Dewi, Mama Vinda, Nenek, dan Datuk. Bunda jadi nggak cerewet lagi. la tampak sangat lesu.
Malam itu aku mimpi Bunda pergi. Jauh. Sementara aku, Vinda, dan Ino sedang asyik bermain hingga taktahu kalau Bunda sudah pergi. Aku terbangun dengan cemas. Kucari Bunda.
Ah, alhamdulillah, Bunda masih ada di sampingku. '
Gegas kuciumi pipinya.
"Bunda, Mumtaz janji nggak nakal dan main melulu. Mumtaz sayang Bunda. Bunda jangan pergi ya? Please dong, Bun..."
Dan alangkah bahagianya aku, saat lengan Bunda menarikku ke dalam pelukannya yang hangat dan nyaman.
Puzzle 6 :
"Ya ampuuun, Mumtaz, Vinda, Ino! Kalian lagi ngapain?"
Kami bertiga yang sedang main air kaget. Di pintu, Bunda berkacak pinggang sambil memegang ulekan di tangannya. Lho, bukannya tadi Bunda masih ngulek sambal? Aduh, jangan-jangan kami mau diuleknya pula. "Heh, ditanya malah bengong."
"Lagi nyuci sepeda. Bun...." Kompak kami bertiga menjawab.
"Lihat baju kalian, basah semua! Rambut dan badan kalian juga! Kayak kucing kecebur sumur! Lantai teras juga basah semua. Licin! Nanti kalau kalian jatuh gimana? Nanti kalian kedinginan, sakit semua, nggak bisa sekolah. Mau jadi apa kalian kalau sering nggak sekolah? Mau jadi tukang cuci sepeda?"
Kami bertiga berpandangan dengan bete.
Orang lagi asyik main juga...
"Sudah! Bubar! Masuksemua! Mama Vindaaa... lihat deh, anak-anak mainnya aneh gitu!"
Hu-uh... kami bersungut-sungut masuk rumah.
"Haddoooh, becek semua! Hu-uh, kalau tahu kalian masih pada ajaib gini, mendingan Bunda jadi aja ke luar negerinya! Ngapain di sini dikerjain sama kalian terus!"
Laaah, mulai lagi dehhh...
"Kita ikut... ya, kan. Mum?" Vinda nyeletuk.
"He-en."
"Gakada! Ngapain bawa-bawa kalian? Udah deh, jangan pada bawel. Cepet ganti baju sana!"
Diam-diam kami mengikik. Bunda tambah bete karena ancamannya tak berhasil. Huahahaha...
Sabtu, 28 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar