Kamis, 26 November 2009

Terapi Paranoid

v Hubungan dengan psikiater
Banyak hal khusus yang dapat diungkapkan dari suatu proses psikoterapi antara se­orang pasien dengan dokter. Suatu proses komunikasi yang rumit karena keadaan dan latar belakang masing-masing pasien yang berbeda. Saya berhubungan dengan tiga psi­kiater Dr. Al Bachri Husein (Jakarta), Dr. Endriyo (alm.), dan Dr. Ike MP Siregar (Ban­dung), dan dirawat berulang kali di Sanatorium Darma­wangsa di Jakarta dan 3 kali dalam waktu berselang satu tahun di RS Khusus Hurip Waluya Bandung. Suatu pro­ses panjang untuk mengemba­likan cara berpikir dan emosi yang semestinya. Hal ini ber­langsung lama karena saya terlambat untuk mengerti ke­adaan diri saya sendiri kalau saya betul-betul sedang sakit. Lama perawatan itu sendiri berbeda-beda, namun sekitar 3 - 6 minggu.
Penyembuhan dilakukan dengan pemberian obat pe­nenang, yang kadang-kadang dalam dosis tinggi, dan psiko­terapi agar bisa menolong diri sendiri dengan pemberian pengertian tentang fantasi, ilusi, dan halusinasi. Tentu saja saya tidak lepas dari se­gala efek sampingan obat se­perti selalu ingin bergerak, mata berkunang-kunang, aler­gi, dan berat badan bertam­bah dengan cepat. Hal ini menjadikan keadaan sungguh-­sungguh tidak nyaman.
Hubungan dengan dokter pun dapat digambarkan se­bagai hubungan love and hate alias benci tapi rindu. Jelas hal itu bukan suatu ko­munikasi yang sempurna, te­tapi itu memang bermanfaat bagi kesadaran diri sendiri. Cara psikiater yang kadang­-kadang meruntuhkan pertahanan diri menimbulkan pe­rasaan tidak enak. Untuk hal ini ada alasannya. Seorang dokter bedah boleh menyakiti pasiennya, kenapa psikiater tidak melakukannya. Tetapi yang jelas, solusi yang dijan­jikan berbeda.
Paranoid adalah penyakit jiwa kronis. Tidak ada satu pun literatur yang menjanjikan bahwa gejala yang pernah timbul tidak akan terulang la­gi. Bagi penderita, kenyataan itu tidak dapat dipungkiri akan menimbulkan kecemasan.
Seberapa besarkah tingkat kecemasannya, bagi saya sa­ngat sulit untuk menceritakannya. Gambaran kecemasan itu mungkin bisa disetarakan de­ngan cerita tentang seorang ibu di Israel yang menangis setiap kali anak lelakinya berulang tahun. Soalnya, itu sama artinya dengan makin dekatnya saat anaknya men­jalani wajib militer yang ber­arti kemungkinan akan kehi­langan sang putra makin besar. Bagi saya, kecemasan itu terjadi sepanjang hari. Apakah besok saya tidak akan kehilangan kesadaran saya seperti yang pernah saya alami?

v Tidak boleh menyerah
Merasa tidak berguna, ber­usaha tapi sia-sia, tidak mem­punyai masa depan adalah perasaan yang wajar diderita oleh pasien penyakit jiwa yang sedang menjalani proses penyembuhan. Keadaan ter­sebut dibenarkan oleh psikiater dan disebut sebagai gejala sekunder. Tetapi ditegaskan, bahwa menerima keadaan tersebut adalah salah. Saya berusaha melawan keadaan tersebut dengan mendekati teman dan mencari semangat lewat bacaan atau apa saja yang mungkin.
Per­nah ada seorang ibu yang mempunyai anak menderita hemofili. Ia membaca buku buku tentang penyakit itu mes­kipun anaknya tetap tidak sembuh. Hal yang sama juga saya lakukan. Makin banyak membaca, makin banyak yang tidak bisa saya katakan. Sesuatu yang mengesankan bagi saya adalah ketika me­nyaksikan pertunjukan penyanyi Barry Manillow di televisi: Dia menyatakan sepanjang hidup ini kita boleh menerima, boleh memberi, tetapi tidak boleh menyerah. Dalam ba­hasa Inggrisnya, Manillow mengungkapkan, "Sometimes life is unfair. You can give in. You can grive out. But you can't give up."
Untuk waktu yang akan datang, penderita akan lebih baik jika ia dapat mengenali diri sendiri seperti sifat, ke­cenderungan, kekuatan dan kelemahannya. Pasien yang berkeluarga, berekonomi cu­kup, berpendidikan tinggi, mempunyai prognosa lebih baik dibandingkan dengan yang lain.
Secara teoritis, penderita yang mempunyai bakat seni seperti menyanyi atau bermain musik, dapat mengekspresikan perasaan dengan media ter­sebut. Ini akan meningankan beban penderita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar