v Hubungan dengan psikiater
Banyak hal khusus yang dapat diungkapkan dari suatu proses psikoterapi antara seorang pasien dengan dokter. Suatu proses komunikasi yang rumit karena keadaan dan latar belakang masing-masing pasien yang berbeda. Saya berhubungan dengan tiga psikiater Dr. Al Bachri Husein (Jakarta), Dr. Endriyo (alm.), dan Dr. Ike MP Siregar (Bandung), dan dirawat berulang kali di Sanatorium Darmawangsa di Jakarta dan 3 kali dalam waktu berselang satu tahun di RS Khusus Hurip Waluya Bandung. Suatu proses panjang untuk mengembalikan cara berpikir dan emosi yang semestinya. Hal ini berlangsung lama karena saya terlambat untuk mengerti keadaan diri saya sendiri kalau saya betul-betul sedang sakit. Lama perawatan itu sendiri berbeda-beda, namun sekitar 3 - 6 minggu.
Penyembuhan dilakukan dengan pemberian obat penenang, yang kadang-kadang dalam dosis tinggi, dan psikoterapi agar bisa menolong diri sendiri dengan pemberian pengertian tentang fantasi, ilusi, dan halusinasi. Tentu saja saya tidak lepas dari segala efek sampingan obat seperti selalu ingin bergerak, mata berkunang-kunang, alergi, dan berat badan bertambah dengan cepat. Hal ini menjadikan keadaan sungguh-sungguh tidak nyaman.
Hubungan dengan dokter pun dapat digambarkan sebagai hubungan love and hate alias benci tapi rindu. Jelas hal itu bukan suatu komunikasi yang sempurna, tetapi itu memang bermanfaat bagi kesadaran diri sendiri. Cara psikiater yang kadang-kadang meruntuhkan pertahanan diri menimbulkan perasaan tidak enak. Untuk hal ini ada alasannya. Seorang dokter bedah boleh menyakiti pasiennya, kenapa psikiater tidak melakukannya. Tetapi yang jelas, solusi yang dijanjikan berbeda.
Paranoid adalah penyakit jiwa kronis. Tidak ada satu pun literatur yang menjanjikan bahwa gejala yang pernah timbul tidak akan terulang lagi. Bagi penderita, kenyataan itu tidak dapat dipungkiri akan menimbulkan kecemasan.
Seberapa besarkah tingkat kecemasannya, bagi saya sangat sulit untuk menceritakannya. Gambaran kecemasan itu mungkin bisa disetarakan dengan cerita tentang seorang ibu di Israel yang menangis setiap kali anak lelakinya berulang tahun. Soalnya, itu sama artinya dengan makin dekatnya saat anaknya menjalani wajib militer yang berarti kemungkinan akan kehilangan sang putra makin besar. Bagi saya, kecemasan itu terjadi sepanjang hari. Apakah besok saya tidak akan kehilangan kesadaran saya seperti yang pernah saya alami?
v Tidak boleh menyerah
Merasa tidak berguna, berusaha tapi sia-sia, tidak mempunyai masa depan adalah perasaan yang wajar diderita oleh pasien penyakit jiwa yang sedang menjalani proses penyembuhan. Keadaan tersebut dibenarkan oleh psikiater dan disebut sebagai gejala sekunder. Tetapi ditegaskan, bahwa menerima keadaan tersebut adalah salah. Saya berusaha melawan keadaan tersebut dengan mendekati teman dan mencari semangat lewat bacaan atau apa saja yang mungkin.
Pernah ada seorang ibu yang mempunyai anak menderita hemofili. Ia membaca buku buku tentang penyakit itu meskipun anaknya tetap tidak sembuh. Hal yang sama juga saya lakukan. Makin banyak membaca, makin banyak yang tidak bisa saya katakan. Sesuatu yang mengesankan bagi saya adalah ketika menyaksikan pertunjukan penyanyi Barry Manillow di televisi: Dia menyatakan sepanjang hidup ini kita boleh menerima, boleh memberi, tetapi tidak boleh menyerah. Dalam bahasa Inggrisnya, Manillow mengungkapkan, "Sometimes life is unfair. You can give in. You can grive out. But you can't give up."
Untuk waktu yang akan datang, penderita akan lebih baik jika ia dapat mengenali diri sendiri seperti sifat, kecenderungan, kekuatan dan kelemahannya. Pasien yang berkeluarga, berekonomi cukup, berpendidikan tinggi, mempunyai prognosa lebih baik dibandingkan dengan yang lain.
Secara teoritis, penderita yang mempunyai bakat seni seperti menyanyi atau bermain musik, dapat mengekspresikan perasaan dengan media tersebut. Ini akan meningankan beban penderita.
Kamis, 26 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar