Kamis, 26 November 2009

Terapi Impotensi

Bagi sebagian (besar) pria, mengidap impotensi nyaris sama artinya dengan kiamat. Apalagi usaha pengo­batan, tradisional ataupun modern yang sudah ditem­puh tidak mengubah apa-apa. Tapi jangan buru-bum merasa "tak berdaya.” Lamporan . wartawan Iniisari Al. Heru Kustara dara Djati Su­rendro yang tertuang dalam dua tulisan ini kiranya dapat memberi infor­masi tambahan yang berguna.
Oh, kiamat ... kiamat! Barangkali ini tidak terlalu mengada-ada. Buat sebagian (besar) lelaki, dunia seolah kiamat ketika dirinya yang tadinya gagah, tiba-tiba oleh sesuatu sebab tidak mampu melaksanakan kewajiban semestinya seorang suami terhadap istri.
Kalau dia dan istrinya itu nrimo atau pasrah saia, tentu tak ada masalah. Kalau tidak? Macam-macam. akibat bisa terjadi karena penderitaan impotensi itu. Ia menjadi ren­dah diri, depresi, gairah kerja merosot, vitalitas hidup melorot, akhirnya putus usaha, bahkan pada suatu titik jenuh tertentu bisa timbul niat untuk hunuh diri. Bagi yang sudah berumah tangga, cobaan pun bukan tidak ringan: rumah tangga gegeran, hubungan suami-istri berantakan, mung­kin bisa berbuah perceraian. Terjebaklah dia ke dalam lingkaran setan. Jiwanya depresi dan semakin jauh dari kesembuhan. Tragis memang. Namun, pengidap gejala yang amat ditakuti kaum pria itu kini tak perlu hilang ha­rapan. Kemacetan "senjata" andalannya bisa ditolong dengan sebuah protesa yang dipasang pada penis dan siap menegakkan kembali kejantan­an yang sempat luruh. Kemampuan melayani kebutuhan biologis istri maupun dirinya menjadi normal kembali.

v Bisa dipakai setiap saat
Paling tidak, itu telah dibuktikan oleh tim dokter Rumah Sakit Umum Dr. Kariadi, Semarang, sekitar dua bulan lalu, yang berhasil me­lakukan operasi pemasangan protesa penis (penile prosthesis) kepada dua orang pasien berusia 60 dan 63 tahun. Pria yang berusia 60 tahun itu menderita impoten akibat sakit gula (diabetes mellitus), sedang yang berusia 63 tahun karena kecelakaan lalu lintas. Kini kedua pasien yang sudah direhabilitasi itu barangkali tengah "menikmati" hasil kerja rumit tangan para Aili bedah urologi pada rumah sakit itu, setelah menunggu sambil berharap-harap cemas selama 4 - 6 minggu sejak operasi. Mereka memang dilarang "mengoperasikan alatnya" selama kurun waktu tersebut. "Untuk memberi kesempatan protesa itu ma­pan, dan luka operasi sembuh dengan haik. Sesudah itu, mau dipakai tiap saat, silakan," kata dr. Rudy Yuwana, ketua tim dokter operasi.
Tim dokter bedah urologi, termasuk dokter tamu dari Korea Selatan, Dr. Hyung Ki Choi dan Dr. Wisniewski Stan dari Australia, menangani operasi pemasangan protesa di RSU Kariadi itu memang bukan yang pertama kali di Indonesia. Tahun 1982 Dr. Fritz August Kakiailatu pernah melakukan operasi pemakaian alat bantu untuk meng­atasi impo­tensi ini, meski terba­tas di kalang­an militer. Ahli bedah urologi pada RS TNI AD Gatot Subro­to Jakarta yang berpangkat laksamana pertama ini, menangani tentara yang impoten akibat cedera tulang belakang, sewaktu mendarat secara tidak benar dengan parasutnya.
"Selain itu secara sporadis, beberapa dokter di sejumlah rumah sakit di Indonesia pun pernah melakukannya sebelum ini," kata dr. Rudy Yuwana yang sudah beberapa kali melakukan operasi semacam ini, termasuk ketika sedang mendalami bidang urologi di Negeri Belanda. Namun, sebagai sebuah tim terpadu yang mencoba mena­ngani penderi­ta lemah syahwat secara multidisipli­ner, operasi pe­masangan protesa di ru­mah sakit itu merupakan yang pertama kali. "Para penderita im­potensi ini perlu mendapat pertolongan. Kami pun menyadari bahwa penanganan pende­rita impoten yang memang kompleks itu harus dilakukan secara multidisipliner," kata Rudy yang juga kepala Sub Bagian Urologi dan pimpin­an Instalasi Bedah Sentral (IBS) RSU Kariadi. Untuk itu, dibentuklah sebuah tim terpadu meliputi ahli penyakit dalam (termasuk endokrino­log), neurolog, psikiater, uro­log, androlog dan seksolog.
Namun, dr. Rudy Yuwana mengingatkan, tidak semua kasus impotensi mesti disele­saikan lewat operasi pema­sangan protesa seperti kedua pasien tadi. "Penanganan impotensi melalui operasi pemasangan protesa sebe­narnya merupakan tindakan paripurna. Artinya, itu hanya akan dilakukan kepada pasien yang memang tidak bisa disembuhkan lagi melalui cara pengobatan apa pun," kata­ nya. Itu pun setelah ada indikasi yang harus dipenuhi melalui pemeriksaan ketat untuk menentukan apakah seorang penderita layak dipasangi alat itu atau tidak. "Yang didahulukan adalah mereka yang sudah pada stadium kronis organik dan yang secara psikis telah mengalami pengobatan psikia­ter atau psikolog cukup lama," jelasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar