Bagi sebagian (besar) pria, mengidap impotensi nyaris sama artinya dengan kiamat. Apalagi usaha pengobatan, tradisional ataupun modern yang sudah ditempuh tidak mengubah apa-apa. Tapi jangan buru-bum merasa "tak berdaya.” Lamporan . wartawan Iniisari Al. Heru Kustara dara Djati Surendro yang tertuang dalam dua tulisan ini kiranya dapat memberi informasi tambahan yang berguna.
Oh, kiamat ... kiamat! Barangkali ini tidak terlalu mengada-ada. Buat sebagian (besar) lelaki, dunia seolah kiamat ketika dirinya yang tadinya gagah, tiba-tiba oleh sesuatu sebab tidak mampu melaksanakan kewajiban semestinya seorang suami terhadap istri.
Kalau dia dan istrinya itu nrimo atau pasrah saia, tentu tak ada masalah. Kalau tidak? Macam-macam. akibat bisa terjadi karena penderitaan impotensi itu. Ia menjadi rendah diri, depresi, gairah kerja merosot, vitalitas hidup melorot, akhirnya putus usaha, bahkan pada suatu titik jenuh tertentu bisa timbul niat untuk hunuh diri. Bagi yang sudah berumah tangga, cobaan pun bukan tidak ringan: rumah tangga gegeran, hubungan suami-istri berantakan, mungkin bisa berbuah perceraian. Terjebaklah dia ke dalam lingkaran setan. Jiwanya depresi dan semakin jauh dari kesembuhan. Tragis memang. Namun, pengidap gejala yang amat ditakuti kaum pria itu kini tak perlu hilang harapan. Kemacetan "senjata" andalannya bisa ditolong dengan sebuah protesa yang dipasang pada penis dan siap menegakkan kembali kejantanan yang sempat luruh. Kemampuan melayani kebutuhan biologis istri maupun dirinya menjadi normal kembali.
v Bisa dipakai setiap saat
Paling tidak, itu telah dibuktikan oleh tim dokter Rumah Sakit Umum Dr. Kariadi, Semarang, sekitar dua bulan lalu, yang berhasil melakukan operasi pemasangan protesa penis (penile prosthesis) kepada dua orang pasien berusia 60 dan 63 tahun. Pria yang berusia 60 tahun itu menderita impoten akibat sakit gula (diabetes mellitus), sedang yang berusia 63 tahun karena kecelakaan lalu lintas. Kini kedua pasien yang sudah direhabilitasi itu barangkali tengah "menikmati" hasil kerja rumit tangan para Aili bedah urologi pada rumah sakit itu, setelah menunggu sambil berharap-harap cemas selama 4 - 6 minggu sejak operasi. Mereka memang dilarang "mengoperasikan alatnya" selama kurun waktu tersebut. "Untuk memberi kesempatan protesa itu mapan, dan luka operasi sembuh dengan haik. Sesudah itu, mau dipakai tiap saat, silakan," kata dr. Rudy Yuwana, ketua tim dokter operasi.
Tim dokter bedah urologi, termasuk dokter tamu dari Korea Selatan, Dr. Hyung Ki Choi dan Dr. Wisniewski Stan dari Australia, menangani operasi pemasangan protesa di RSU Kariadi itu memang bukan yang pertama kali di Indonesia. Tahun 1982 Dr. Fritz August Kakiailatu pernah melakukan operasi pemakaian alat bantu untuk mengatasi impotensi ini, meski terbatas di kalangan militer. Ahli bedah urologi pada RS TNI AD Gatot Subroto Jakarta yang berpangkat laksamana pertama ini, menangani tentara yang impoten akibat cedera tulang belakang, sewaktu mendarat secara tidak benar dengan parasutnya.
"Selain itu secara sporadis, beberapa dokter di sejumlah rumah sakit di Indonesia pun pernah melakukannya sebelum ini," kata dr. Rudy Yuwana yang sudah beberapa kali melakukan operasi semacam ini, termasuk ketika sedang mendalami bidang urologi di Negeri Belanda. Namun, sebagai sebuah tim terpadu yang mencoba menangani penderita lemah syahwat secara multidisipliner, operasi pemasangan protesa di rumah sakit itu merupakan yang pertama kali. "Para penderita impotensi ini perlu mendapat pertolongan. Kami pun menyadari bahwa penanganan penderita impoten yang memang kompleks itu harus dilakukan secara multidisipliner," kata Rudy yang juga kepala Sub Bagian Urologi dan pimpinan Instalasi Bedah Sentral (IBS) RSU Kariadi. Untuk itu, dibentuklah sebuah tim terpadu meliputi ahli penyakit dalam (termasuk endokrinolog), neurolog, psikiater, urolog, androlog dan seksolog.
Namun, dr. Rudy Yuwana mengingatkan, tidak semua kasus impotensi mesti diselesaikan lewat operasi pemasangan protesa seperti kedua pasien tadi. "Penanganan impotensi melalui operasi pemasangan protesa sebenarnya merupakan tindakan paripurna. Artinya, itu hanya akan dilakukan kepada pasien yang memang tidak bisa disembuhkan lagi melalui cara pengobatan apa pun," kata nya. Itu pun setelah ada indikasi yang harus dipenuhi melalui pemeriksaan ketat untuk menentukan apakah seorang penderita layak dipasangi alat itu atau tidak. "Yang didahulukan adalah mereka yang sudah pada stadium kronis organik dan yang secara psikis telah mengalami pengobatan psikiater atau psikolog cukup lama," jelasnya.
Kamis, 26 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar