Belajar doyan makan
Sistem ini muncul segera setelah Jepang kalah perang melawan Sekutu. Ketika itu terjadi paceklik berat di Jepang. Pada tahun 1946 Markas Besar Tentara Pendudukan AS memberi bantuan makanan pada sekolah-sekolah di Jepang, karena para murid kelaparan dan kekurangan gizi. Sejak saat itu lahirlah program makan slang di sekolah. Mula-mula program hanya diselenggarakan oleh sekolah di kawasan Tokyo. Tetapi pada tahun-tahun berikutnya berkembang di seluruh Jepang alas bantuan LARA (Licensed Agency for Relief in Asia).
Dulunya makanan yang disajikan berupa susu skim dan hidangan bukan terbuat dari bahan pokok semacam beras, gandum dan sebagainya, sehingga orangtua murid kadang-kadang membekali anaknya makanan tambahan yang sesuai dengan penghasilan mereka. Untunglah tahun 1950 pemerintah AS mengirimkan cadangan gandum melalui GARIOA (pemerintah yang bertanggung jawab atas pembebasan wilayah jajahan). Bantuan pemerintah AS ini membuka kemungkinan bagi Jepang untuk memberikan menu yang lengkap pada anak-anak sekolah dasar berupa roti, susu dan juga makanan-makanan pokok lainnya.
Ketika Pakta Perdamaian San Francisco yang mengakhiri pendudukan pasukan Sekutu atas Jepang ditandatangani, program bantuan GARIOA tersebut juga dihentikan. Penghentian bantuan ini mengancam berlangsungnya program makan siang di sekolah di Jepang. Namun, berkat tuntutan keras dari para orang tua murid agar pemerintah melanjutkan program tersebut, akhirnya pemerintah Jepang mengukuhkan sistem makan siang di sekolah ke dalam perundang-undangan mereka.
Alasan yang mendukung gerakan orang tua murid di Jepang adalah bahwa program makan siang di sekolah memiliki fungsi pendidikan dan juga berperan melindungi kesehatan serta meningkatkan kesejahteraan anak. Misalnya setiap kali anak mendapat giliran tugas melayani dan menyiapkan makanan bagi kawan-kawannya, dengan sendirinya mereka memperoleh pengalaman penting tentang tata pergaulan hidup berkelompok atau bermasyarakat. Satu keuntungan lain yang diperoleh dari program ini, yaitu tidak memberi kesempatan kepada anak-anak untuk mengatakan suka atau tidak suka akan makanan yang sudah disajikan di hadapan mereka.
Kini di Jepang sekitar 25.000 sekolah dasar menyelenggarakan program makan siang di sekolah bagi lebih dari sepuluh juta muridnya. Orang tua murid hanya merogoh koceknya untuk program ini sebesar 18 dolar AS setiap bulan atau ± Rp 27.000,00. Di Jepang jumlah ini hanya bisa dipakai untuk lima kali jajan kalau di luar sekolah.
Sekolah-sekolah di Jepang bisa memilih satu dari tiga cara untuk menyelenggarakan program ini. Pertama, dengan sistem dapur sentral yang membagikan makanan ke berbagai sekolah. Kedua, pihak sekolah menyiapkan menu dan makanannya sendiri. Ketiga, dengan menyajikan makanan berdasarkan daftar menu yang suda dibuat oleh lembaga pendidikan setempat. Hidangan yang biasa disajikan kepada anak-anak antara lain nasi kari, spaghetti dan hamburge yang berisi daging.
Sabtu, 28 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar