Selasa, 24 November 2009

Puasa dan Diet Nonton TV

Puasa dan Diet Nonton TV
Tak cuma asupan makanan yang perlu ditata agar kesehatan tubuh jadi prima. Asupan TV yang mernenuhi pikiran dan hati keluarga pun perlu ditata agar serapannya tidak mubazir dan merusak kesehatan mental ruhani.
Heru, seorang karyawan swasta, punya 'kejutan' untuk keluarga di akhir pekan. Dengan diam-diam ia merancang rencana liburan dua hari ke Puncak, Bogor, yang tentu sangat menyenangkan. Tapi Arman jadi terkejut ketika mendapat penolakan spontan dari anak-anak. Ironisnya, alasan Fikri (8) dan Zidan (6) terdengar "sepele" sekali. "Nggak mau, nanti aku nggak bisa nonton..." Terang saja Arman jadi kecewa sekaligus gemas dibuatnya. Arman lantas tersadarkan bahwa selama ini ia dan istrinya terlampau membebaskan anak-anak menikmati TV. Mereka lantas mulai berpikir, "Ah, bagaimana cara mengatasinya ya?"
v Tayangan Buruk Berakibat Buruk
Elly Risman, Psi, Direktur Yayasan Kita dan Buah Hati, menegaskan bahwa dari berbagai tayangan TV, sajian yang dominan terhidang adalah tayangan yang tidak mendidik. Tayangan buruk ini, ungkap Elly, berhubungan erat dengan keberpihakan stasiun TV yang menurutnya lebih mementingkan raupan rupiah ketimbang kepentingan masa depan masyarakat, khususnya anak. Parahnya lagi respon masyarakat dan upaya melindungi anak-anak dari tayangan TV yang tidak mendidik ini amat minim. Akibatnya, banyak anak yang melahap acara TV tanpa batas dan aturan yang jelas. Kalau sudah begini, "Cepat atau lambat, menonton TV tanpa aturan dan batasan akan berakibat buruk," tegas Elly.
Dampak buruk akan semakin parah bila anak sudah terbiasa nonton sejak usia prasekolah atau di bawah lima tahun. Sebab pada masa itu, anak-anak belum bisa membedakan antara akting atau tipuan kamera dengan kenyataan. Bagi mereka, apa yang dilihatnya di layar kaca sama saja dengan kenyataan. Padahal, banyak orang tua mudah saja menjadikan TV teman bermain anak sejak kecil saat orang tua terutama ibu sedang sibuk bekerja. Alasan mereka, anak jadi anteng kalau dibiarkan nonton TV.

v Fisik dan Mental Jadi Terganggu
Secara fisik, terlalu banyak menonton TV juga akan mengganggu gerakan otot mata anak. Mata terbiasa melihat lurus dan tidak bergerak-gerak seperti saat membaca buku. 'Akibatnya, anak akan mengalami kesulitan membaca karena gangguan otot matanya," tutur psikolog yang sangat konsisten memperjuangkan UU anti pornografi dan pornoaksi ini.
Selain mengganggu otot mata, menonton juga mengakibatkan metabolisme tubuh terganggu karena anak cenderung pasif, tidak banyak bergerak. Karena itu, anak-anak yang banyak menghabiskan waktu dengan menonton TV punya kecenderungan mengalami kegemukan (obesitas).
Dari sisi kejiwaan, tayangan yang ditonton anak bisa mendorong anak menjadi konsumtif. Lihat saja betapa laku kerasnya produk teletubbies, pokemon, spongebob, dan produk pendukung lain seiring dengan tingginya rating tayangan tersebut. Anak yang senang pada satu tayangan, jadi tertarik memiliki produk tokoh tayangan atau bahkan segala produk yang diiklankan oleh tokoh favorit mereka.
Belum lagi kalau bicara saat tindak kekerasan yang banyak diumbar di berbagai tayangan anak. Kekerasan yang diumbar ini, seperti memukul, menjambak, menghantam, atau mencekik tak selalu dilakukan si tokoh jahat, namun juga oleh tokoh 'baik'. Tak heran bila berbagai penelitian lain lantas menunjukkan bahwa anak-anak yang banyak menonton TV cenderung lebih agresif dibandingkan dengan anak-anak yang jarang menonton TV. Ini belum termasuk banyaknya kalimat-kalimat negatif seperti makian dan ejekan yang dilontarkan tokoh TV.
Menurut Elly, dampak buruk terpapar tayangan TV ini memang tidak terlihat segera pada diri anak. Efeknya bisa jadi baru terlihat belasan tahun mendatang. Kekerapan menonton adegan kekerasan dalam TV akan menimbulkan dampak kumulatif, yaitu, anak-anak menjadi tidak tanggap terhadap kenyataan dan konsekuensi kekerasan. Bahkan, mungkin lebih cenderung menganggap kekerasan merupakan solusi dari persoalan kehidupan sehari-hari.
Efek buruk lainnya, ujar Elly lagi, adalah efek "candu". Bila sudah nyandu, anak akan menganggap tidak ada kegiatan lain yang lebih asyik dibandingkan menonton TV. Lebih parah lagi, bila efek nyandu ini mengakibatkan anak jadi males bersosialisasi dengan orang lain. Padahal, yang paling penting dikembangkan pada anak-anak adalah kemampuan berinteraksi dan bersosialisasi dengan teman atau orang lain. Sedangkan menonton TV adalah proses non-interaktif meskipun orang lain berada di dekatnya," tutur Elly.
Tentu saja, masih ada manfaat menonton televisi bagi anak. Efek baik ini, antara lain, anak bisa mendapatkan tambahan wawasan dengan mengetahui perkembangan ilmu pengetahuan den teknologi, perkembangan peristiwa yang terjadi di dunia, den perkembangan permasalahan yang ada di luar lingkungannya. Selain itu, anak juga dapat menambah kosakata terutama kata-kata yang tidak terlalu sering digunakan sehari-hari. Sayangnya jumlah program seperti itu masih sangat sedikit. Sedikit contoh adalah tayangan rutin Sessame Street atau Blue Clues. Dengan demikian menurut ukuran maslahat dan mafsadat, ternyata TV lebih banyak membawa mafsadat. Jika kita tarik konklusi seperti itu, adakah nonton TV bisa dipersamakan dengan khamr atau judi yang juga mengandung manfaat, namun lebih besar mafsadatnya sehingga Allah mengharamkan?. Dengan demikian, perkara haram itu belum tentu tidak mengandung manfaat sama sekali, namun menurut Syeikh Ibnu Abdis Salam, selaku pendukung kuat madzhab Syafi’i di Mesir yang wafat tahun 660 H. Beliau mengatakan bahwa kendati pun khamr mengandung manfaat, namun tetap diharamkan Allah, sebab terbukti mafsadatnya lebih mendominasi. Periksa firman.
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfa`at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa`atnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir (QS. Al-Baqarah: 219).
Tentunya masih memerlukan penelitian yang panjang untuk memutuskan hukum haram memelototi layar kaca, sebagaimana masalah rokok yang kini diharamkan bagi anak-anak dan remaja. Ironisnya, belum berani merembet kepada orang dewasa. Ada apa di balik itu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar