Sabtu, 28 November 2009

Perilaku yang Dibenci Anak

Perilaku yang Dibenci Anak
Tidak hanya orang tua saja yang tidak memiliki standart penilain. Remaja andapun juga demikian. Untuk meningkatkan kebanggaan anak pada ortu, tinggalkan bebrapa hal berikut ini.
1. Tindakan Asusila
Selain dilarang oleh agama dan norma, bersbuat asusila akan membuat anak membenci orang tuanya. Rasa bangga mereka akan pudar, yang tertinggal hanya rasa malu. Misalnya salah satu ortu selingkuh, atau tertarik dengan lawan jenis yang jauh lebih muda. Dan perbuatan asusila yang saat ini tengah marak adalah, tindakan korupsi. Jangan sampai ortu melakukan hal itu. Selain memberikan contoh buruk juga mnghilangkan wibawa di hadapan anak.
2. Temperamental
Jangan bersikap temperamen di hadapan anak, karena membuat kesan wibawa di hadapan anak hilang. Sikap emosional yang ditampakkan juga bisa jadi ditiru oleh sang anak. Sehingga ketika berbicara dengann ortupun, tidak ada rasa segan.
3. Suka Bergosip
Meskipun gossip sudah menjadi trend saat ini, namuan sebagai ortu seha-rusnya dapat menjaga sikap. Terlebih pada gosip yang hampir mendekati fitnah, ortu harus mampu menghindarinya.
v Butuh Ayah yang Sederhana
Banyak orang berusaha untuk bisa jadi seleb atau bagian darinya, karena diperhatikan, dielu-elukan, dihormati bahkan diminati. Tapi, apakah anak dan istri di rumah bisa menikmati "keseleben" itu? Apa sih sebenarnya yang bisa dibanggakan oleh anak dan istri terhadap kita sebagai kepala keluarga? Ini menjadi pertanyaan di kepala saya 7-8 tahun yang lalu ketika kegiatan luar rumah menjadi menu utama yang tidak bisa dihindari, sehingga aktivitas di dalam rumah bersama anak-istri menjadi sangat minim.
Orangtua banyak menasihati kalau menjadi ayah itu harus bisa memperlihatkan keteladanan kepada anak dan istri. Ayah harus punya prioritas di dalam rumah manakala memang dibutuhkan. Namun, hal itu sangat sulit dilakukan saat konsentrasi pekerjaan menuntut lebih. Maka protes anak-anak pun sering terdengar. Pernah suatu ketika, Syahidah, si sulung, bertanya mengapa saya jarang di rumah dan lebih sering kelihatan di TV ketika bulan Ramadhan. Dia mengaku malu dengan teman yang ayahnya lebih sering ada di rumah, terutama ketika bulan Ramadhan.
Lain lagi dengan anak keempat saya, Ibrahim. Dia mengeluhkan ketidaksempatan saya main bola atau naik sepeda bersamanya pada hari libur. Si mungil dan cerdas Aisyah ikut bersuara. Ia bercerita banyak orangtua murid yang terlibat dalam pementasan drama di sekolahnya, tapi saya tidak.
Ternyata menjadi ayah tidaklah mudah. Banyak hal yang saya anggap biasa menjadi tidak biasa, utamanya kalau berhadapan dengan anak-anak. Sering sebagai ayah, kita mungkin hanya memikirkan kebutuhan anak dari sisi pemenuhan kebutuhan fisiknya saja. Urusan nonfisik seperti mengajarkan anak sopan santun, tanggung jawab terhadap diri dan lingkungan kita serahkan pada istri di rumah. Gaya dan kebiasaan di tempat kerjapun sering terbawa sampai ke rumah, sehingga hubungan dengan anak menjadi formal, bahkan seperti atasan dan bawahan.
Orangtua banyak menasihati kalau menjadi ayah itu harus bisa memperlihatkan keteladanan kepada anak dan istri.
Komunikasi formal akhirnya menyebabkan anak juga jadi formal kepada ayah mereka sendiri. Mereka yang seharusnya disapa secara hangat dan juga akan bersikap manja dan hangat dengan kita, jadi berlaku sebaliknya. Tanpa sadar, akhirnya anak sulit bercerita mengenai apa yang dirasakannya selama di sekolah, misalnya. Gaya komunikasi ini pula yang akhirnya menyebabkan kita melewatkan masa-masa emas mereka dalam bertumbuh, berkembang, dan menjadi dewasa. Baru kemudian kita tertegun menyadari bahwa anak kita sekarang sudah besar, dengan segala kebiasaan dan sikap yang sulit kita mengerti.
Ketika suatu malam saya bangun hendak menunaikan shalat malam, saya termangu lama di dekat tempat tidur mereka, mengamati wajah mereka yang kelelahan karena aktivitas seharian di sekolah. Kemudian, saya beranjak ke kamar saya mengamati wajah istri yang dalam kelelahannya tetap menunjukkan keikhlasannya. Ya Allah, saya meletakkan diri saya di mana dalam mengawal anak-anak kami? Seberapa baik saya melakukan tugas saya sebagai qowam? Apa yang akan saya katakan nanti ketika Engkau bertanya tentang yang saya pimpin, ya Robb?
Lelehan air mata menggenangi pelupuk mata, karena saya ternyata belum melakukan apa-apa untuk membuat mereka bangga dengan abinya, membuat mereka memiliki keteladanan yang utuh bagi masa depannya, membuat rnereka bisa berbangga seperti teman-temannya membanggakan orangtuanya.
Alhamdulillah, Allah menunjukkan jalan-Nya dan menyadarkan saya akan kesalahan pemahaman saya selama ini. Ternyata anak tidak butuh kita membanggakan profesi kita di hadapannya. Anak dengan kesederhanaannya hanya membutuhkan ayahnya yang sederhana, menunjukkan keteladanan warisan Rasul Saw., bersikap apa adanya seperti dalam jangkauan pikiran anak-anak. Anak hanya butuh potret lengkap ayah dan ibunya yang bisa mereka simpan dalam-dalam di lubuk hatinya yang terdalam sebagai teladan dan bekal menghadapi masa depannya. Itulah yang sedang saya lakukan sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar