v Sagu dipanen, pohon ditebang
Kata penduduk di Irian Jaya, tanda-tanda pohon sagu siap "dipanen" bisa dilihat pada pelepah daun dan bunga. Jika pelepahnya semakin condong, pertanda batang sagu sudah mengandung banyak pati. Atau, jika pelepah menjadi keputih-putihan seperti ditaburi kapur atau tepung. Begitu pula ketika bunganya mulai muncul, berarti pohon sagu sudah siap ditebang.
Menjelang berbunga, biasanya tangkai daun mudanya memendek sebelum akhirnya pemhentukan daun terhenti. Selanjutnya dari tandan-tandan bunga muncul tangkai-tangkai sepanjapg kira-kira 8 cm. Saat yang tepat untuk memanen sagu diperkirakan antara perkembangan mayang dan munculnya tangkai-tangkai itu, yang waktunya kira-kira satu tahun. Kalau bunga sudah terlanjur menjadi buah, kandungan patinya sudah jauh berkurang.
Secara tradisional orang Irian Jaya "memanen" sagu menggunakan tokok. Bentuknya mirip beliung kecil bertangkai panjang dari kayu dan logam. Batang sagu ditebang pada bagian bawah dekat akar, lalu dipenggal-penggal sepanjang 2 m. Baru potongan-potongan itu dibelah memanjang. Empulur atau gumbarnya dihancurkan dengan tokok, dan dipangkur hingga hancur seperti serbuk gergaji. Serbuk gumbar itu dibungkus kain sebagai tapis, lantas diremas-remas sambil terus-menerus diguyur air hanyak-hanyak. Air bercampur pati itu ditampung dalam bak penampung untuk diendapkan. Ketika air ditiriskan, akan diperoleh endapan berupa pati. Tepung sagu ini biasanya dikemas dalam wadah terbuat dari daun sagu. Supaya tahan selama sebulan, tepung dalam kemasan itu setiap kali perlu disiram air segar untuk menjaga agar tetap basah.
Cara orang Mentawai menokok sagu sedikit berbeda. Dari batang yang dibelah, empulur diambil, ditumbuk dalam palung kayu ukuran besar, lantas direndam selama 24 jam. Selanjutnya, diremas-remas hingga serat-seratnya mengambang di permukaan air dan didiamkan. Saat air sudah jernih kembali, serat yang mengambang ditiriskan dan tinggallah tepung sagu berbentuk bubur. Begitu dikeringkan, jadilah tepung sagu dan biasanya juga dibungkus daun sagu. Sagu dari Mentawai sering dibilang lebih murni dan lebih putih warnanya.
v Tergeser beras
Sayangnya, sebagai bahan makanan pokok di wilayah timur Indonesia, sagu mulai banyak kehilangan penggemarnya. Tergeser oleh beras sejak zaman Orde Baru. Perlahan-lahan namun pasti gengsi sagu melorot drastis sampai dianggap sebagai makanan pokok orang miskin dan terbelakang. Apalagi didorong anggapan, orang maju dan sejahtera harus makan beras. Wah!
Papeda bubur sagu kental dan lengket yang mesti dimakan pakai kuah ikan itu, kini sudah menjadi pemandangan istimewa dan barang langka. Makanan ini hanya dijumpai pada saat perayaan adat perkawinan atau kelahiran anak. Rata-rata kaum muda usia 30-an tahun ke bawah tidak suka lagi makan papeda. Mereka lebih doyan makan nasi. Hanya kelompok yang lebih tua, meski sekarang juga makan nasi, tetap tidak bisa meninggalkan papeda sama sekali. Maklum, sedari kecil perut mereka terbiasa makan papeda. Jadi, kalau kelompok usia yang lebih tua itu merantau ke tanah Jawa, misalnya, terpaksa makan nasi. Tapi karena perutnya sudah akrab dengan papeda, masih saja mereka berusaha mendapatkan tepung sagu untuk dibuat papeda. Seminggu sekali bisa ketemu papeda sudah lumayan. Kalau tak menemukan tepung sagu, tepung singkong pun bisa disulap jadi papeda singkong. Peristiwa ini betul terjadi. Mirip perut orang Jawa yang merasa helum makan kalau belum "kemasukan" nasi.
Sebenarnya, potensi sagu sebagai bahan pangan masih sangat besar, namun sayangnya tidak dimanfaatkan dengan lebih baik. Mestinya warga di daerah-daerah yang secara tradisional makanan utamanya sagu, tidak perlu menggantinya dengan beras, apalagi dengan alasan gengsi. Penghasil beras terdapat di kawasan barat Indonesia, sehingga kawasan timur harus mendatangkannya dari tempat yang jauh. Ini tentu pemborosan, terutama dalam hal ongkos transportasi. Apalagi negeri kita kini juga pengimpor beras. Bukankah akan lebih ekonomis kalau diversifikasi pangan digalakkan? Tanpa harus semata-mata menggantungkan pada jenis serealia yang menghidupi miliaran umat manusia di muka Bumi ini?
Tepung sagu itu luwes, dapat dibuat aneka macam olahan selain papeda. Ada roti tradisional, seperti sagu tutupola yang dimasak dalam bumbung bambu, sagu uha yang dimasak dengan dibungkus daun sagu. Sagu sinoli yang dibuat dari tepung sagu ditambah garam dan kelapa parut lalu digoreng dalam wajan panas. Pati sagu bisa juga dibikin kue tart, bolu, atau "kue modern" lainnya. Tergantung kreativitas kokinya.
Minggu, 29 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar