MISTERI NEGERI AKHIR ZAMAN
Menyusuri jalan-jalan di kota Damaskus, ibukota negara Republik Arab Suriah, sungguh pengalaman yang paling berkesan. Ada daya tarik yang membuat saya ingin selalu mengunjungi kota itu.
Ketika pertama kali berkunjung ke Damaskus tahun 2004, saya terdorong oleh rasa penasaran. Pasalnya, banyak hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengenai akhir zaman yang
menyebut-nyebut kota ini. Selain itu, sebagaimana hadits Rasulullah, kota ini termasuk salah satu dari tiga tempat yang diberkahi, selain Makkah dan Madinah.
Kunjunganberikutnyabeberapabulan lalu, ketika mengantar anak saya yang akan menuntut ilmu di negeri para ulama itu. Ya, negeri para ulama, sebab dari sini telah lahir Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qoyyim, Imam Nawawi, Said Hawwa, Nashirudin Al-Albani, Wahab Zuhaili, Ramadhan Al-Buthy, dan banyak lagi.
Wilayah Suriah barangkali hampir sama dengan Provinsi Jawa Barat. Penduduknya berj umlah sekitar tujuh juta jiwa. Sekitar 90% penduduknya beragama Islam, selebihnya Kristen, Druze, dan Yahudi.
Jika ingin berkunjung ke sana, setidaknya Anda mesti menguasai Bahasa Arab. Maklum, Bahasa Arab menjadi bahasa nasional di negara ini.
Damaskus merupakan salah satu kota besar di Suriah. Masih ada lagi kota lain yang juga cukup ramai, misalnya Aleppo, Lattaki, Tartous, Der Al-Zour, Palmyra, dan Horns.
Secara ekonomi, negara ini termasuk miskin. Anehnya, saya melihat rakyatnya hidup berkecukupan. Ada seorang kenalan saya yang berprofesi seorang guru (ustadz). Meski tergolong kelas bawah, ternyata ia masih mampu makan roti, keju, dan minum susu setiap hari. Alham-dulillah, anak-anaknya pun dapat sekolah dengan lancar.
Menurut perhitungan saya, itu bisa terjadi karena harga-harga terhitung sangat murah. Untuk naikseru/ce (sebutan untuk mobil angkot), jauh atau dekat saja cukup membayar 5 lira (sekitar seribu ru-piah). Makanya, gaji seorang polisi sebesar 3000 lira (sekitar enam ratus ribu rupiah) per bulannya sudah dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya.
Satu hal lagi yang membuat saya terkesan adalah sikap ramah penduduknya terhadap orang asing seperti saya. Mereka tidak sungkan-sungkan member! salam lebih dulu, padahal jelas-jelas belum kenal dengan saya. Saya merasakan langsung bagaimana mereka menampilkan sikap ramah dan kebaikan itu.
Saya sempat tinggal di tempat kos anak. Berupa rumah, milik seorang penduduk bernama Abu Ubaidah. Selama tiga hari saya datang, ia melayani dan memenuhi semua kebutuhan dengan luar biasa. la juga mengantar ke mana pun saya pergi. Semuanya gratis. Padahal, ia termasuk orang yang biasa-biasa saja secara ekonomi.
Setelah tiga hari saya tinggal di situ, Abu Ubaidah mengatakan, "Akhi, kalau menurut adat di sini, tamu itu kami muliakan selama tiga hari, dan itu memang tuntunan Rasulullah. Setelah tiga hari, kami punya kewajiban mena-nyakan apa keperluan antum di sini dan bagaimana. Setelah itu terserah antum."
Di sebuah masjid, keramahan itu tampak jelas pula. Saya bertegur sapa dengan beberapa jamaah di sana, lantas di antara mereka berkata, "Rumah saya rumah kamu juga, masjid saya masjid kamu juga, dan negeri saya adalah negeri kamu juga."
- Sungguh terharu dengan sikap itu. Rasanya teringat dengan sikap sahabat Anshar kepada Muhajirin saat peritiwa htjrah Nabi dulu.
Saya begitu penasaran dengan sikap mereka yang begitu mulia. Muncul pertanyaan, kenapa mereka begitu ramah
dan baik terhadap tamu? Saya akhirnya mendapat jawaban-nya, "Suriah adalah tempat yang diber-kahi. Jika pendu-duknya sudah tidak ramah lagi, maka kiamat sudah sema-kin dekat"
Namun beda dengan pemerintahnya. Pemerintah Suriah yang menganut pa-ham sosialis bersikap represif terhadap ak-tivitas dakwah. Pemerintah menge-luarkan aturan yang melarang masjid di-buka selain pada waktu shalat wajib. Hanya dua masjid yang boleh dibuka sepanjang waktu dan aktif melakukan kegi-atan, yaitu Masjid Ma'had Abu Nur dan masjid di Kompleks Ma'had Al-Fattah. Ma'had Abu Nur adalah tempat Syaikh Ramadhan Al-Buthy, seorang ulama terkemuka saat ini. Salah satu bukunya yang diterbitkan di Indonesia adalah Shirah Nabawiyah. Sementara Ma'had Al-Fattah adalah sal ah satu ma'had tertua di dunia.
Namun, aktivitas dakwah di Damas-kus sebenarnya tidak pernah surut. Sebagian dilakukan sembunyi-sembunyi. Yang pasti, tak pernah ada "perlawanan" dari para aktivis terhadap represi itu. Tampaknya para aktivis masih trauma dengan peristiwa Khums belasan tahun lalu, ketika terjadi peristiwa pembantaian terhadap sekitar 75.000 ulama dan umat Islam oleh pemerintah.
Saya sempat mengunjungi tempat bekas pembantaian itu. Di sana masih nampak bekas peluru dan bom yang menyisakan lubang-lubang di dinding-dinding bangunan.
Saya juga sempat berkunjung ke Masjid Umawy. Di masjid inilah kelak Nabi Isa 'alaihissalaam akan diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana yang dikhabarkan hadits-hadits Rasulullah. Masjid dengan menara putih ini memiliki arsitektur yang sangat indah dan bangunannya seetara dengan Masjid Istiqlal di Jakarta.
Hal menariklainnya dari masjid bekas gereja ini adalah adzannya. Jika di masjid-masjid lain adzan hanya dilakukan oleh satu orang muadzin, maka di masjid ini dilakukan oleh sepuluh orang muadzin secara bersamaan.
Di masjid itu juga terdapat makam Nabi Yahya 'alaihissalaam. Dan di luar kompleks masjid terdapat sebuah benteng yang dikenal dengan nama benteng Shalahuddin al-Ayyubi.
Saya juga sempat jalan-jalan ke sebuah pasar tradisional. Sebenarnya tidak ada yang menarik dari pasar ini. Saya hanya penasaran, sebab konon dulu Rasulullah pernah berdagang di pasar ini.
Di Damaskus terdapat banyak ma'had dan universitas. Biaya belajar dan kebutuhan sehari-hari sangat murah. Untuk seorang cukup 150 dolar sebulan. Apalagi jika belajar Ilmu Syariah di Ma'had Abu Nur atau Al-Fattah, selain gratis juga diberi dana setiap bulannya. Sungguh nyaman untuk belajar.
Lingkungannya pun sangat kondusif untuk pendidikan. Kemaksiatan cenderung lebih terbatas jika dibanding kota-kota lainnya. Tidak ada mall, bioskop sangat jarang, dan tempat hiburan malam tidak ada.
Cukup banyak pelajar di kota ini, datang dari berbagai penjuru dunia. Ada yang dari Spanyol, Amerika, Turki, Kazakstan, Inggris, Brasil, dan China. Kebanyakan dari mereka datang ke Damaskus karena ingin belajar Bahasa Arab dan agama Islam. Bahasa Arab warga Damaskus memang dikenal halus sehingga enak untuk dipelajari.
Saya sempat berkenalan dengan beberapa pelajar itu. Salah satunya bernama Ismail, mantan pendeta asal Brasil. Setelah masuk Islam, ia dan istrinya hijrah ke Damaskus. Padahal di negeri asalnya sudah mengelola lima gereja dengan 5.000 jemaat dan kekayaan yang berlimpah. Dia lakukan itu semua dengan satu tujuan, yaitu belajar Bahasa Arab dan Islam.
Ismail berikrar tidak akan kembali ke Brasil kecuali disebabkan oleh dua hal. Yaitu sudah bisa Bahasa Arab dan berdakwah, atau pulang dalam keadaan mati.
Selain alasan belajar, banyak di antara mereka yang datang ke Damaskus, sama seperti saya, karena tertarik dengan hadits-hadits tentang akhir zaman yang banyak menyebut kota ini. Apakah Anda juga tertarik ke sana?*
Dwi Budiman, Ahmad Damanik/HWoyotul/a/)
Selasa, 24 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar