Kamis, 26 November 2009

Meninggal Karena Leukemia

Meninggal Karena Leukemia


Setelah anak meninggal, tu­gas rumah sakit dianggap sudah selesai. Sanak tetangga mungkin juga tidak herani mengusik keluarga yang baru dirundung malang. Lalu sia­pa yang bisa membantu? Di Jerman kini ada perkumpul­an untuk orang tua yang anaknya menderita kanker. Dagmar Luders yang baru ke­hilangan putranya karena leukemia menceritakan pengalamannya. Mungkin Pe­ngalamannya ini bisa meng­ilhami kita untuk membentuk perkumpulan seperti itu di Indonesia.
Saya mencoba tetap tampak gembira. Saya bermain de­ngan dia, membacakan buku-buku yang paling disukai­nya. Suami saya datang ke ru­mah sakit sesering mungkin. Suami saya demikian labilnya, sehingga selama seratus hari anak kami di rumah sakit, dia menginap tujuh puluh hari di situ.
Apa yang terjadi di rumah tidak saya pedulikan lagi. Pra­musiwi yang menjaga adik Sonke cukup baik, sehingga bayi saya tidak kekurangan sesuatu. Kadang-kadang si kecil saya ajak ke rumah sakit dengan kereta api, supaya paling sedikit ia bisa saya gendong selama dua jam. Kami, suami-istri, hanya ber­temu di rumah sakit. Di situ kami tidak bisa membicarakan kesulitan kami, karena Sonke selalu ikut mendengarkan. Se­lain itu dokter melarang kami menunjukkan kecemasan kami di hadapan Sonke. Ka1au saya ingin menangis, saya pura-pura pergi ke wastafel di pojok kamar untuk mencuci tangan. Segera terdengar suara kecil dari bawah selimut, "Ma­mi, jangan bersedih." Namun, kalau saya mencoba untuk me­lucu, ia berkata, "Mami, ber­henti. Jangan tertawa."
Waktu itu rasanya saya ingin sekali berbicara dengan psikolog, teta­pi mereka terlalu sibuk. Setelah itu Sonke demam lagi selama empat minggu. Suhunya sampai 40°C. Tidak tampak ada perbaikan. Bobotnya tinggal 11 kg. Saya ingin menanyakan ke­adaannya yang sebenarnya ke­pada dokter. Saya malah diben­tak, "Kalau mau bertanya, ja­ngan di depan anak." Saya tidak berani lagi bertanya.
Keesokan harinya datang se­orang waraita dokter. Ia me­manggil suami saya dan saya. Ia mencoba untuk memberi tahu kami dengan hati-hati bahwa harapan tipis sekali. Biarpun demikian, katanya, mereka ti­dak akan menyerah pada nasib. Saya bertanya berapa anakkah yang menunjukkan gejala seper­ti Sonke bisa tetap hidup. Me­nurut dia, di Jerman hanya ada lima dan semua kini sudah me­ninggal.
Saya bertekad agar anak saya menghabiskan hari-hari ter­akhirnya di rumah, dengan keluarganya. Tidak perlu me­nyiksanya di rumah sakit. Sua­mi saya agak takut. Namun, dokter An tidak keberatan. Ia malah memberi kesan bahwa gagasan itu bagus. Saya merasa mendapat dukungan. Ketika Sonke sudah tidur di ranjangnya sendiri lagi, ia tam­pak lebih gembira dan mulai mengoceh. Sejak itu dokter keluarga datang setiap hari untuk mengecek endapan darah Son­ke. Demam Sonke turun, tetapi ia hampir tidak pernah makan. Ia Iebih tenang dan bahagia dibandingkan di rumah sakit. Mungkin ia masih bisa sembuh, pikir saya.
Tibalah tanggal 30 Juli 1986. Hari itu cerah sekali. Saya mengantar Sonke ke rumah sa­kit untuk mendapat transfusi darah lagi. Soalnya, dia sangat lemas. Baru beberapa jam kemudian kami pulang. Sore hari­nya ia hampir tidak bisa berge­rak. Setiap sepuluh menit sekali saya mengganti seprainya. Kami masih mencoba membaca buku kanak-kanak. Ia tidak bisa mengikutinya lagi. Saya taruh adiknya dekat ranjangnya. Ia melihat adiknya bermain seben­tar. Saya melakukan pekerjaan rumah dekat ranjangnya. Saya ingin supaya Sonke bisa ikut serta sedikit.
Malam harinya ia mulai sulit bernapas. Saya memberinya morfin dalam dosis kecil saja. Rumah sakit memberinya kepa­da saya agar bisa mengurangi rasa sakit yang tidak tertahankan lagi. Pukul 22.00 saya tidur bersama Sonke. Saya tidak berani mematikan lampu. Pukul 22.45 ia meninggal dalam peluk­an saya.Sekarang saya yakin bahwa saya bertindak benar waktu mengajaknya pulang, sehingga la bisa meninggal dalam pelukan saya. Saya sendiri juga yakin bahwa kami telah mencoba se­gala sesuatu untuk menenang­kannya.
Kemudian menyusul masa paling sulit. Orang tidak berani mendekati kami. Saya yang ha­rus melakukan langkah perta­ma. Dua hari kemudian saya pergi ke tetangga untuk minum kopi bersama sambil menangis.
Pengalaman suami saya lain lagi. Ia mencoba untuk me­nyembunyikan perasaannya. Ia tidak bisa mengungkapkan ke­sedihannya dengan kata-kata. Kami tidak berbicara. Akibat­nya saya harus menanggung ke­sedihan saya sendiri. Bayi saya bisa menjadi pelipur lara. Ia memerlukan saya, memerlu­kan perhatian saya. la bisa terta­wa dan bermain dengan saya. Itu satu-satunya jalan untuk menanggulangi kesedihan saya. Segera saya merasa bahwa saya hanya selongsong kosong dan jiwa saya sudah hampir padam. Pada saat itu kami sebe­tulnya memerlukan bantuan ah­li. Sebaliknya, bagi rumah sakit urusan sudah selesai pada saat Sonke meninggal.­
Dua bulan berlalu dan saya pun akhirnya insaf bahwa anak kami sudah tiada. Saya memikirkan kemung­kinan untuk menjalani terapi ibu dan anak. Anak yang bisa diikutkan paling sedikit harus berusia tiga tahun dan sudah tidak mengompol, "Paling cepat bulan Februari baru ada tempat untuk saya, padahal sekarang baru Oktober.
Di koran kebetulan saya membaca tentang suatu badan yang mengurus anak-anak dan orang tua yang anaknya mende­rita kanker. Mereka mau mem­bantu saya. Saya bertemu dengan seorang ahli terapi. Saat itu saya juga mengajak suami saya. Sejak itu kami pergi setiap minggu sampai sekarang. Terapi itu sangat membantu. Saya bisa melepaskan kesedihan saya, berbicara tentang hal itu, men­coba menghilangkan rasa bersa­lah karena saya merasa seharus­nya membawa pulang Sonke lebih awal. Seharusnya saya le­bih banyak memanfaatkan perasaan saya kepadanya.
Dengan bantuan ahli terapi itu saya bisa membiarkan anak saya beristirahat dengan tenang. Suami saya memerlukan waktu jauh lebih lama untuk bisa me­nerima kematian Sonke. Berkat terapi itu kami bisa saling mene­mukan diri kami 1agi. Sekarang kami bisa berterima kasih bah­wa Sonke pernah ada dalam kehidupan kami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar