Suku Indian terbiasa memanfaatkan lumut. Mereka mengonsumsi rusa kutub dan merasakan betapa lezatnya: lumut yang telah meragi di dalam perut rusa. Mereka juga mencampur lumut dengan lumpur untuk menutupi celah-celah pintu dan jendela pondok kayu mereka. Juga memanfaatkan sari lumut beraneka warna untuk mewarnai mantel, keranjang, dan tubuh mereka. Bahkan Hariis tweed, kain wol asli Skotlandia menggunakan pewarna dari lumut.
"Keajaiban" itu tidak lepas dari 800-an bahan kimia yang terkandung dalam sari lumut. Salah satunya yang paling dikenal adalah asam usnat yang dihasilkan lumut jenis Usnea dan digunakan sebagai krim atau salep untuk penyakit kulit. Beberapa suku bangsa di Indonesia juga tak asing dengan penggunaan lumut sebagai obat. Masyarakat di sekitar Rawa Aopa, Sulawesi Tenggara, misalnya, menggunakan lumut yang melekat pada akar ikan (sejenis tumbuhan di rawa) untuk mencegah gigitan nyamuk malaria. Lumut itu diseduh dengan air panas sebelum diminum.
Meskipun sejak dulu berkhasiat sebagai obat sakit kepala, sakit gigi, TBC, diabetes dan asma, penggunaan lumut dalam pengobatan modern amat terbatas. Yang terbaru adalah membuat antibiotik dari lumut untuk melawan TB dan aneka penyakit kulit.
Industri sabun dan parfum pun baru memanfaatkan sari lumut belakangan ini. Sebut saja Eau Savage-nya Dior, Ysatis-nya Givenchy atau Ferure-nya Guerlain. Umumnya, mengambil lumut yang hidup di pohon pinus (Parmelia furfuracea) dan pohon oteng (Evernia prunastri). Parfum yang mengandung lumut, biasanya dari jenis chypres dan fougeres, memberi kesan kesejukan dan kesegaran yang tahan lama.
Indikator polusi udara Negara maju di Amerika Utara dan Eropa menggunakan lumut sebagai indikator polusi udara. Pasalnya, lumut sangat peka terhadap perubahan atmosfer Bumi. Meski dikenal mampu bertahan hidup dalam kondisi ekstrem, hanyak yang rusak kemudian mati gara-gara bahan kimia dalam udara tercemar. Hujan asam akibat pembakaran minyak, batubara, gas atau proses industri dengan cepat membunuh lumut di kawasan perkotaan dan industri.
Sebagai contoh, dulu permadani hutan di Kolombia dan Inggris dipenuhi lumut jenis Peltigera aphrotosa yang mampu mengikat nitrogen dan memberi unsur hara pada tanah. Namun, akibat perkembangan industri, perlahan-lahan lumut itu menghilang. Sebuah penelitian terbatas yang dilakukan Kelompok Studi Adidesa di Yogyakarta menyebutkan, ada perbedaan yang berarti antara lumut yang menghuni pepohonan di jalan-jalan besar padat lalu lintas dengan lumut pepohonan di kawasan sepi. Semakin ramai jalan dilalui kendaraan, semakin jarang ditemukan lumut crustose maupun foliose pada pohon. Seandainya ada, bentuknya akan mengecil dan pertumbuhannya amat lambat. Sebaliknya, lumut tumbuh subur di kawasan sepi dan tak tercemar.
Cara mengukur tingkat polusi udara: inenggunakan indikator lumut memang belum lazim bagi kita. Namun, cara ini sebetulnya menawarkan beberapa keuntungan. Selain murah dan mudah, juga menyadarkan manusia akan pentingnya kehidupan lingkungan di sekitarnya. jangan sampai kelak, gara-gara buruknyu ekosistem, lumut tak lagi hidup. Lalu, siapa lagi yang akan “menghancurkan" gedung-gedung tua dan barang-barang rongsokan?
Minggu, 29 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar