Faktor yang Menyebabkan Malas Belajar
Sebenarnya ada banyak faktor yang menyebabkan anak malas belajar.
Pertama, karena anak tidak memiliki minat untuk tahu lebih jauh, yang juga dapat disebabkan oleh banyak faktor. Di antaranya, karena orang tua tidak melakukan upaya untuk menumbuhkan minat anak, respon yang negatif terhadap pertanyaan-pertanyaan kritis anak, dan lain-lain. Padahal, minat yang ditumbuhkan akan menyiapkan anak untuk belajar dalam arti khusus, seperti menulis dan membaca. Untuk memelihara minat belajar ini, orang tua perlu membentuk sikap dasar belajar anak. Yaitu, ketahanan anak untuk melakukan satu pekerjaan dan tanggungjawabnya.
Kedua, ketidaksesuaian tugas dengan kemampuan anak berdasarkan usia. Tugas di luar kemampuan, baik terlalu banyak maupun terlalu sedikit, akan membuat anak putusasa. Bila anak SD mampu menulis sebanyak 10 baris, misalnya, maka anak TK seharusnya kurang dari itu.
"Sekarang ini, anak usia lima tahun sudah banyak yang masuk SD. Padahal sebetulnya kemampuan berpikir mereka belum sesuai dengan metode pelajaran yang di SD. Jadi kalau SD itu menerima anak-anak yang di bawah 5 tahun, maka metode pengajarannya harus disesuaikan dengan anak-anak usia itu," urai Perwitasari.
Ketiga, karena tidak pernah ada contoh dari orang tua dan lingkungannya untuk belajar. Anak yang jarang melihat orang tuanya belajar, membaca, menulis, akan merasa tak memiliki kebutuhan untuk belajar karena melihat tak ada manfaatnya. Begitu juga bila di rumah tidak tersedia sarana penunjang belajar, lampu penerangan bersinar temaram, atau letak TV terlalu dekat dengan tempat anak belajar, semua ini dapat berdampak pada kemalasan belajar.
Kondisi fisik dan psikologis anak pun perlu diperhatikan. Anak yang sedang sakit atau letih akan malas belajar. Begitupun masalah pemilihan waktu belajar, perlu diperhatikan yang paling tepat buat anak. Apakah sesudah Ashar, Maghrib atau sesudah Isya’.
Sementara itu, hubungan suami-istri yang tidak harmonis, kesibukan orang tua, atau malah berantem dengan teman di sekolah ditengarai merupakan beberapa faktor psikologis yang sering menjadi penyebab anak malas belajar.
Keempat, komunikasi tidak efektif. Ingat, target kita berkomunikasi adalah memastikan bahwa 'pesan' yang ingin kita sampaikan kepada penerima pesan (anak) diterima dengan benar. Tentu orang tua ingin agar anak mengerti, menyukai dan melakukan apa-apa yang dipikirkan orang tua. Komunikasi yang efektif juga bisa mengungkapkan kehangatan dan kasih sayang orang tua, misalnya, "Ayah bangga sekali, kamu sudah berusaha keras belajar di semester ini.”
Coba ingat-ingat bagaimana pola komunikasi yang kita bangun selama ini. Sudahkah anak-anak menangkap pesan yang kita sampaikan sesuai dengan yang kita maksud?
Seringkali orang tua lupa menyampaikan 'isi' dari pesannya, tapi lebih banyak merembet pada hal-hal yang sebenarnya di luar maksud utamanya. Misal, nilai ulangan harian anak di bawah rata-rata teman sekelasnya. Tanpa bertanya terlebih dulu kepada anak kenapa nilainya jelek, lbu langsung komentar, 'Itulah akibatnya kalau kamu nggak nurut Ibu. Main melulu sih. Ibu dulu waktu sekolah nggak pemah dapat nilai 6. Kamu kok nilainya jelek begini. Gimana sih?"
Apa inti pesan yang disampaikan Ibu? Anak salah karena nilainya jelek dan semakin salah karena Ibu selalu membandingkan anak dengan keadaan lbunya sewaktu sekolah. Akibatnya, anak akan berpendapat, "Ah, nggak ada gunanya bilang ke Ibu kalau nilai jelek. Nanti pasti dimarahi. Padahal, mengetahui nilai anak yang di bawah rata-rata buat orang tua sangat penting untuk mengevaluasi penyebabnya. "Wah, nilai anak saya untuk mata pelajaran matematika kenapa selalu jelek ya? Apa yang perlu dibantu?" Sederet pertanyaan itu bisa terjawab bila kita berkomunikasi secara efektif, bukan menyalah-nyalahkan anak. Bila penyebab bisa segera diketahui, maka orang tua bisa mencari solusinya dan meiakukan perbaikan.
Komunikasi yang tidak efektif yang berjalan selama bertahun-tahun, pastinya akan berdampak negatif pada pembentukan karakter anak. Padahal, salah satu fungsi komunikasi adalah untuk mengenal diri sendiri dan orang lain. Bisa dipastikan pola seperti itu akan membuat anak bingung dalam mengenali dirinya sendiri dan orang tuanya. 'Apa sih sebenarnya maunya Ayah-ibu?' Kebingungan ini mengakibatkan dalam diri anak tidak tumbuh motivasi kuat untuk berprestasi, toh mereka tak tahu apa gunanya mereka belajar.
Kelima, ucapan orang tua yang tak terbantahkan 'Pokoknya kamu harus ranking satu. Dulu, ayah sekolah jalan kaki, tapi selalu ranking satu. Kenapa kamu nggak bisa?' Menekankan dengan kalimat, 'pokoknya', 'seharusnya', dan kata sejenis lainnya menunjukkan tidak adanya celah untuk pilihan lain.
Orang tua yang tak terbantahkan membuat anak sulit mengemukakan pendapatnya. Bahkan, sulit mengetahui potensi dirinya sendiri, apalagi mengoptimalkan potensinya. Kecenderungan tak terbantahkan ini kalau berlanjut terus bisa menjurus pada upaya memaksakan kehendak orang tua pada anak. Misalnya, "Nanti kamu harus jadi dokter." Kalaupun akhimya anak mengikuti kehendak orang tuanya kuliah di fakultas kedokteran, ia akan menjalaninya dengan setengah hati. Bisa jadi, hanya setahun dijalani, selanjutnya keluar karena bertentangan dengan keinginannya. Tentu kita tak ingin ini terjadi bukan?
Keenam, target yang tidak sesuai dengan kemampuan atau minat sang anak. Boleh jadi bisa terlalu rendah atau terlalu tinggi dari kemampuannya. Jangan sampai memaksakan begitu banyak kegiatan pada seorang anak sehingga mereka jadi jenuh dan terlalu lelah. Akibat overaktivitas, banyak anak yang kemudian mulai meninggalkan belajar sebagai kegiatan yang seharusnya paling utama. Di sinilah peranan orang tua sangat penting, jangan sampai terIalu memaksa anak dengan
harapan agar mereka dapat menuai prestasi sebanyak-banyaknya. Mereka didaftarkan pada berbagai macam kursus atau les privat tanpa mengetahui bahwa batas IQ (Inteligence Quotient) seorang anak tidak memungkinkannya menerima berbagai macam kegiatan yang disodorkan oleh orang tua.
Namun, sebaliknya bagi anak yang. memiliki IQ tinggi, juga perlu penanganan khusus, karena mereka tidak cukup dengan target regular untuk anak lainnya. Mereka membutuhkan tantangan lebih supaya potensinya teroptimalkan. Untuk mengetahui potensi ini, orang tua perlu bantuan psikolog.
Ketujuh, aturan dan hukuman yang tidak mendidik Terlalu ketat dalam rutinitas harian bisa menyebabkan akhirnya anak malas belajar. Namun, sebaliknya tanpa membuat rutinitas harian anak tidak terbiasa memiliki jadwal belajar yang harus dipatuhinya. Jalan tengahnya, rutinitas tidak bisa ditetapkan secara sepihak oleh orang tua, namun dibangun bersama-sama.
Membuat aturan juga harus diikuti dengan konsekuensi. Jadi, anak dapat mengerti apa hubungannya antara kepatuhan menjalani aturan dengan konsekuensinya, bukan sekadar hukuman yang tidak mendidik, seperti hukuman cubitan bila dapat nilai jelek
Bagi anak usia SD ke atas, orang tua perlu mendiskusikannya dengan anak. Aturan tersebut ditandatangani dan dipasang di dekat meja belajar. Misalnya:
1. Belajar sehabis shalat Maghrib sampai Isya’.
2. Boleh nonton Avatar pada minggu pagi.
3. Main PS paling lama 2 jam di hari libur.
4. dan seterusnya.
Jangan bosan juga untuk meng-up date kesepakatan dan mengingatkan kalau ada yang melanggar. Ingatkan juga akan konsekuensinya, misalnya, "Belajar yuk! Kemarin kita sepakat kan kalau nggak belajar gimana hayo?"
Biarkan anak menjawab konsekuensinya. Jika aturan itu sudah dibuat bersama, pasti anak ingat akan konsekuensinya. Harapannya, kesadaran untuk belajar akan tumbuh dari dalam diri anak, bukan dipaksakan orang tua. Tidak ada lagi hukuman yang tidak mendidik, karena hukuman akan membuat anak berpikir "Uh, belajar sangat tidak menyenangkan! "
Mewaspadai anak dengan konsep di atas, penting untuk mencegah kemalasan anak semakin parah.
Kedelapan, kongkrit dan menarik Uapaya lain yang dapat dilakukan orantua ataupun guru untuk meningkatkan minat belajar anak adalah dengan memberikan contoh kongkrit dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya, saat mengajarkan bentuk-bentuk dasar kepada anak seperti lingkaran, persegi panjang, segitiga, dan lain-lain, tanpa mengkongkretkannya anak akan bingung dengan konsep bentuk tersebut. Namun, jika orang tua mencoba memperkenakan bentuk-bentuk tersebut dalam keseharian, maka anak akan menikmatinya. Orang tua dapat mengajak anak bermain dengan berkata, "Yuk, kita cari ada berapa ya bentuk lingkaran dalam kamar ini?" Dengan cara ini anak akan lebih mudah memahami konsep bentuk yang dimaksud.
Perwitasari juga melihat bahwa pendidikan matematika yang dipelajari di sekolah saat ini tidak cukup aplikatif untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Akibatnya, banyak anak yang tidak suka dengan matematika karena tidak tahu apa manfaatnya.
Padahal, mengenakan nilai ulangan dan matematika dasar seperti pertambahan, perkalian dan pembagian pun juga dapat dilakukan dengan contoh sehari-hari. Perwitasari menyebut, main belanja-belanjaan adalah satu kegiatan menarik bagi anak. Katakan saja, "Ini Ibu beri kalian masing-masing Rp 3.000, Abang dan Adek boleh memilih makanan yang kalian suka, tapi cari yang halal ya."
Selain itu orang tua juga perlu memperhatikan tipe belajar anak dan menyesuaikan strategi belajamya. Bisa jadi, kakak beradik memiliki tipe belajar yang berbeda dan memerlukan strategi yang berbeda pula. Ada anak yang gaya belajarnya tipe visual, auditif, dan kinestetis. Anak dengan tipe belajar visual umumnya lebih cepat mampu membaca dibanding yang lain. Anak dengan dpe belajar kinestetis perlu dibantu dengan gambar-gambar yang menjelaskan tentang bacaan itu atau dalam bentuk gerakan.
Kesembilan, nuansa belajar. Suasana belajar juga perlu diupayakan menarik agar anak menganggap bahwa aktivitas belajar adalah aktivitas yang menyenangkan. Ciptakan suasana dalam keluarga sebagai suasana yang cinta belajar. Suasana cinta belajar ini artinya semua anggota keluarga memang senang membaca, menulis, berdiskusi.
Bila anak melihat ibu dan ayahnya senang membaca dan belajar, begitu juga nenek dan orang terekat di sekitamya, maka anak pun kemungkinan besar akan senang belajar. Sebaliknya, bila orang tua adalah penonton televisi yang setia, jangan kaget bila mendapati anak memiliki 'hobi' yang sama.
Untuk sampai pada taraf cinta belajar, hal yang sangat penting adalah melakukan proses pembiasaan. Lewat pembiasaan belajar, anak akan belajar mencari solusi dari suatu masalah, seperti mencari pemecahannya lewat buku.
Berikan pula motivasi kepada anak dengan pembentukan perilaku dengan sistem kontrak. Tak usah ragu membuat kontrak belajar yang dibarengi strategi pemberian reward and punishment (penghargaan dan hukuman) pada anak. Kontrak belajar ini bisa meliputi jam berapa anak siap belajar? Apa yang mau dia pelajari? Berapa lama?
Kalau anak menyelesaikan tugas belajarnya, beri dia reward. Sebaliknya, bila tidak, terapkan pula punishment yang sudah disepakati bersama. Selain berfungsi memotivasi anak, cara ini juga dapat membentuk anak menjadi pribadi yang bertanggungjawab.
(Ingatlah), ketika Allah mengatakan: "Hai `Isa putra Maryam, ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu di waktu Aku menguatkan kamu dengan ruhul qudus. Kamu dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan sesudah dewasa; dan (ingatlah) di waktu Aku mengajar kamu menulis, hikmah, Taurat dan Injil, dan (ingatlah pula) di waktu kamu membentuk dari tanah (suatu bentuk) yang berupa burung dengan izin-Ku, kemudian kamu meniup padanya, lalu bentuk itu menjadi burung (yang sebenarnya) dengan seizin-Ku. Dan (ingatlah), waktu kamu menyembuhkan orang yang buta sejak dalam kandungan ibu dan orang yang berpenyakit sopak dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu kamu mengeluarkan orang mati dari kubur (menjadi hidup) dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu Aku menghalangi Bani Israil (dari keinginan mereka membunuh kamu) di kala kamu mengemukakan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, lalu orang-orang kafir di antara mereka berkata: "Ini tidak lain melainkan sihir yang nyata." (QS. Al-Maidah: 110).
Selasa, 24 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar