Jumat, 27 November 2009

Dingin Lebih Berbahaya dari Lapar

Dingin Lebih Berbahaya dari Lapar

Akhir Maret 1977, beberapa penumpang dari Twin Otter MNA yang jatuh mencoba mencari pertolongan dengan meninggalkan reruntuhan pesawat. Mereka sebagian besar kedapatan meninggal tidak jauh dari tempat kecelakaan. Sebab-sebab meninggal diduga: kelaparan dan kedinginan. Tempat ke­celakaan terdapat di pegunungan yang tinggi, jadi dingin. Lebih-lebih lagi ketika itu akhir musim penghujan.
Suhu badan manusia normal kurang-lebih 36 - 37°C. Apabila suhu tangan dan kaki lebih rendah dari suhu badan, tidak akan terjadi sesuatu yang mengkhawatirkan. Tapi sedikit saja suhu badan inti menurun, akibatnya bisa serius, bahkan bisa berakhir dengan kematian.
Pengaliran panas badan me­lalui air (pakaian basah) adalah 32 kali lebih besar daripada, melalui udara yang tenang walaupun suhunya sama. Bila badan manusia kehilangan 1,2% saja dari suhunya yang normal, maka yang bersangkutan sudah menggigil, suatu proses otomatis dari ba­dan untuk memproduksi panas. Padahal menggigil itu memerlukan tenaga sehingga pengeluaran panas berlangsung terus. Makin banyak panas badan yang dikeluarkan, semakin menurun kemampuan otak. Bila suhu badan mencapai kira-kira 35°C ketangkasan kita berkurang. Mungkin sudah ti­dak sanggup lagi membuka pisau lipat atau menyalakan sebatang korek api.
Pada kira-kira 34,8°C, mung­kin menggigil terhenti, kadang-kadang gemetar hebat yang tidak terkendalikan timbul. Usaha badan untuk mem­produksi panas dengan geme­tar ini banyak sekali menyerap tenaga. Dalam keadaan ini, kalau ada orang menanyakan alamat kita, mungkin sekali kita tidak tahu lagi menjawabnya. Apabila pertolongan tidak kunjung datang, maka satu setengah jam kemudian mungkin yang bersangkutan sudah tidak tertolong lagi.
Sepuluh tahun sebelum peristiwa kecelakaan Twin Otter MNA itu, seorang penerbang perintis bernama Robert Gauchie ditemukan dalam keadaan hidup di daerah Arktik, Barat Laut Kanada. Lima puluh delapan hari sebelumnya ia terpaksa mengadakan pendaratan darurat karena kehabisan bahan bakar. Penerbang berumur 39 tahun itu sudah kehilangan sebagian besar berat badannya dan kedoa belah kakinya membeku, tapi keadaan kesehatannya cukup baik. Ia bertahan dengan ransum darurat dan sisa-sisa makanan dalam kapal. Suhu di tempat itu jarang sekali naik sampai10°C bahkan kadang-kadang turun sampai -50°C.
Kalau saja ia meninggalkan reruntuhan pesawatnya, mung­kin ia sudah tewas dalam waktu beberapa jam saja. Jadi apa yang harus dilakukan seandainya sebagai penum­pang kita kedapatan hidup dalam suatu kecelakaan pesa­wat terbang di daerah terpencil? Pada saat itu mungkin saja badan kita masih segar, sumber tenaga masih besar. Bagaimana harus menyimpan dan memanfaatkan tenaga itu sehemat-hematnya untuk dapat bertahan ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar