DAUR ULANG SAMPAH DENGAN SAPI
Di tempat pembuangan akhir (TPA), sampah biasanya dibakar, sesudah para pemulung mengambil sampah keringnya, seperti botol gelas, kantung plastik, kardus kertas, atau karet. Maksud pembakaran ialah, agar sampah yang nenggunung itu berkurang volumenya, sehingga tempat itu lebih efisien. Tempat sampah itu pada umumnya disebut sebagai TPA.
Di beberapa kota besar yang anti pembakaran, sampah dibuldoser agar rata dan padat, serta lebih cepat mengisi beberapa cekungan tanah yang ada di tempat itu. Sesudah sampah diuruk dengan tanah dan dipadatkan, tempat itu dapat menjadi lahan baru untuk menambah tempat pemukiman. Pemerintah Daerah setempat kemudian mencari lahan baru sebagai TPA sampah berikutnya.
Tetapi di TPA Jatirejo, Mojosongo, dalam Kotamadya Surakarta, penyusutan volume sampah tidak dilakukan dengan pembakaran, melainkan dengan peggembalaan sapi. Para pemulung dititipi sapi oleh para petani pemilik ternak, agar sambil mengumpulkan sampah kering, juga menggembalakan sapi di tempat sampah.
Soalnya, sampah yang dibuang di TPA masih saja bercampur sampah basah (sampah organik yang lunak berasal dari dapur rumah tangga, Restoran Sudimampir, pasar kaget dan sebagainya). dan sampah kering (bahan keras seperti dos dan kardus atau barang berasal dari kantor dan pabrik). Para sapi yang diumbar di tengah sampah campuran ini jelas hanya mengais sampah basah. Sampah keringnya sementara itu dipungut oIeh para pemulung yang menggembala mereka. Sesudah penggembala honorer ini selesai memulung sampah kering, la meriggiring sapi asuhannya ke rumah petani pemiliknya lagi. Dengan dimakan sampah basahnya sebagian, dan dipulung sampah keringnya sebagian, volume sampah di TPA bersapi itu menyusut, dan membuatnya tidak cepat penuh.
Diwartakan sebagai berita tambahan, bahwa sapi yang digembalakan di tempat sampah itu jadi gemuk. Tetapi pertanyaan skeptis yang menggelitik kita ialah, apakah sapi yang herbivor itu baik-baik saia makan bahan yang bukan rumput dan hijauan lainnya? Menurut Dinas Peternakan daerah setempat, sampai sekarang belum pernah timbul kecelakaan makan di antara sapi-sapi itu. Walaupun sampah itu sering tercampur racun tikus, berikut bangkainya juga, namun sapi-sapi jelas mempunyai naluri mempertahankan diri dan tidak membabi buta memilih sampah seperti itu sebagai santapan siangnya. Mereka malah diwartakan gemuk dan berdaging lebih padat daripada sapi "bukan sampah".
Gemuknya diduga karena di samping bahan hijauan, mereka juga makan sampah restoran, seperti daging-dagingan yang berlemak, capjai, pecel, bahkan sate kambing. Bahan ini benar-benar habis mereka sikat. Soalnya, mereka memang sudah dilatih dulu selama sekitar sebulan agar mau beralih menu, dari rumput ke daging-dagingan berlemak.
Apa pun penjelasan yang digagaskan untuk menerangkan gemuknya sapi sampah itu, tidak menjadi soal benar. Yang jelas menggembirakan ialah, TPA itu. tidak cepat penuh, berkat daur ulang sampah basah oleh sapi yang menemukan tempat
menggembalaan baru. Ide untuk menggembalakan sapi di tempat pembuangan akhir sampah itu patut diteladani oleh pemerintah dalam mengelola TPA serupa di kota lain, yang niscaya makin ideal Makin kewalahan karena pertambahan penduduk yang makin padat.
Sabtu, 28 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar