Minggu, 29 November 2009

Bunga Badul, Sang Kembang Gaceng 2

v Mainan ular
jenis yang lebih aman dimakan ialah iles-iles, Acung, atau Badul, Amorphophallus variabilis Tangkal daunnya yang juga lebih licin daripada walur mempunyai gambaran belan-belang seperti tubuh ular, sampai sering disebut orang ular yang mengira berhadapan dengan ular lain yang mau menyainginya di medan perburuan. Para petani Perahyangan yang melihat serangan salah paham itu kemudian menyebutnya Cocooan oray, (mainan ular) disamping sebutan Acung.
Sudah sejak tentara Jepang melanda pulau-pulau kelapa kita zaman Perang Dunia II dulu, iles-iles yang menjadi Cocooan oray ini membuat cerita. Tidak hanya Petani saja yang dikerahkan untuk mengumpulkan umbi iles-iles, tapi para pelajar SMP dari kota juga. Dengan menyandang bedil kayu buatan narapidana, para pelajar yang berlatih perang-perangan itu lebih banyak dimanfaatkan untuk mencari iles-iles,
daripada diajar berhitung. Iles-1les zaman itu resminya dikumpulkan dan diekspor ke jepang untuk dIpakai sebagai bahan perekat dalam industri pesawat terbang Asia Timur Raya. Malahan ada yang menjelaskan bahwa yang dilem itu kain terpal, yang dipasang sebagai dinding tubuh dan sayap pesawat pemburu berani mati. Tapi niscaya semuanya itu hanya isapan jempol untuk mengelabui mata saja, karena kapal laut pengangkut iles-fles boleh dikata tidak ada. Yang lebih masuk akal ialah iles-iles itu dimakan sendiri oleh tentara pendudukan jepang di Pulau jawa, yang mengajar perang-perangan dengan bedil kayu.
Mengapa iles-iles dimakan? Ternyata ia mengandung glukomanan, sejenis karbohidrat yang sudah berabad-abad lamanya merupakan bahan makanan khas rakyat Jepang, yang memang lezat. Lebih lezat daripada amylum (karbohidrat)-nya umbi tales, singkong atau kentang. Antara lain dipakai sebagai bahan pembuatan Sukiyaki yang amat terkenal, tapi baru kita dengar nyanyiannya setelah orang Amerika melanda Jepang sesudah perang dunia usai.
v Serbaguna
Di jepang sendiri, glukomanan diperoleh dari Amorphophallus konjac, berasal dari India, yang kemudian dibudidayakan di Jepang sebagai konyaku. Jenis ini memang lebih tinggi kadar glukomanannya (sampai 65%), dibanding dengan iles-iles kita yang hanya berkadar 35%. Sayangnya jenis yang sudah lama dibudayakan sejak seribu tahun lalu di daerah Gumma, Nagasaki dan Fukushima itu makan waktu empat tahun, sebelum dapat dipanen. Sesudah Perang Dunia ladang konyaku yang kurang efektif bisa dipanen itu kemudian terpaksa mengalah terhadap pembangunan industri yang lebih menghasilkan uang. Glukoma dicari dari negara lain saja, terutama dari Pulau jawa yang klewat murah segala-galanya.
Timbullah gerakan ekspor komanan dari Indonesia ke Jepang dalam bentuk keripik iles-iles setipis 2 mm. Sebagai bahan ekspor non minyak, ia digalang dengan penuh semangat, lengkap dengan Forum konsultasi pemanfaatan iles-iles sebagai barang industri di Semarang tahun 1979 dan standar ekspor dari Departemen Perdagangan Koperasi, untuk menjaga mutu.
Glukomanan, selain dipakai bagai tepung konyaku pembuat Sukiyaki, juga dipakai sebagai bahan pengental krim dalam industri kosmetik. Dalam industri cat, ia dipakai untuk memperkilat dan meningkatkan daya rekat cat. Sebagai bahan perekat, glukomanan memang lebih bermutu daripada embalau Arab, karena tidak tembus air, sehingga awet. Meskipun kena lembab, daya rekatnya masih tetap kuat. Mungkin sifat yang bagus milah yang dulu dibesar-besarkan sebagai bahan untuk merekat dinding pesawat terbang Kamikaze yang berani mati itu.
Untuk memenuhi keperluan ekspor ini, sudah tentu timbul gerakan pengumpulan iles-iles lagi seperti pada zaman jepang dulu. Kebanyakan dipungut dari hutan dataran rendah (sampai setinggi 700 meter di atas muka laut), terutama dari Jawa Timur dan Sumatra Barat. Para petani mula-mula memang bersemangat mengumpulkan iles-iles, karena pembayaran dari tengkulak lancar dan cukup. Tapi kemudian, (sebagaimana lazimnya pada gerakan pengumpulan semacam itu), pembayaran tidak lancar. Pengumpulan seret dan gerakan ekspor ikut melempem. Eksportir di kota pelabuhan, yang ingin mendapat iles-iles sesuai kontrak, dan mantap mutunya; kemudian tidak mungkin mengandalkan jasa tengkulak saja, tapi juga membangun perkebunan iles-iles sendiri, di samping aktif membagi-bagikan bibit kepada para petani sekitarnya yang mau menanaminya di sela-sela tanaman pekarangan masing-masing. Hasilnya kelak akan dibeli dalam bentuk umbi segar, untuk diolah menjadi keripik kering dulu, sebelum diekspor. Kerja sama seperti itu, yang sudah berjalan antara pabrik karet dan petani kebun karet di sekitarnya dengan nama PIR (Perkebunan Inti Rakyat), atau antara pabrik gula dan petani tebu sekitarnya dengan nama TRI (Tebu Rakya Intensifikasi) mestinya bisa juga dilakukan dengan iles-iles. Tinggal memecahkan soal kecil saja: siapakah vang akan melakukan IRI (Iles-iles Rakyat Intensifikasi) secara teratur, cukup jumlahnya atau PIR si Badul?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar