Bermain bagi anak
Melalui mainan, kenalkan anak dengan agarna, menggunakan gambar-gambar mesjid, Ka'bah, huruf Arab, miniatur mesjid, boneka berjilbab.
Semua itu agar kebutuhan anak bisa terpenuhi dengan maksimal. Baik untuk perkembangan motoriknya, mentalnya, atau pun keterampilan dan keamanannya. Sebab belum tentu seorang ibu bisa menjaga dengan baik atas keamanan didi anak, sesuai dengan pengakuan ibu Aniswati Zuhriyyah yang mengatakan:
“Pernahkah Anda, mengalami perasaan seperti ini? Perasaan was-was timbul tatkala anak saya yang berumur 2 tahun main di rumah tetangga sebelah. Takut kalau anak saya mengotori rumah tetangga saya itu. Rasa was-was muncul kala anak saya bermain di luar rumah bersama teman-temannya. Takut kalau anak saya itu dipukul, dicubit bahkan digigit temannya. Maklum, anak kecil gampang akur sekaligus gampang tempur. Rasa khawatir pun hinggap saat anak saya dijaga si mbak pengasuhnya saat saya bekerja. Saya takut kalau mbaknya lalai, anak saya terjatuh karena naik-turun tangga atau karena pipisnya yang kadang sembarangan.
Ternyata saya tidak sendirian. Teman kantor dan teman pengajian saya pun merasakan hal yang sama. Teman kantor saya sering mengungkapkan perasaan khawatir kalau pengasuh anaknya kurang bisa menjaga anaknya dengan bak Bahkan, kalau kami sedang membahas cerita yang sedikit menyeramkan mengenai anak, ada saja yang langsung menelpon ke rumah. Memastikan si anak tidak apa-apa.
Teman pengajian saya juga pernah duduk gelisah selama pengajian berlangsung. Usut punya usut, ternyata ia baru pertama kali menitipkan kedua buah hatinya kepada suaminya. Ia khawatir kalau-kalau suaminya kurang sabar memberi makan anak-anak atau takut tidak dapat menangani anak-anak saat ngambek. Jadilah saya dan teman-teman saya itu merasa tidak nyaman saat beraktivitas ketika harus meninggalkan anak. Sementara untuk membawa anak tidak mungkin. Lalu bagaimana saya dapat menenangkan hati? Menempel sama anak selama 24 jam? Apakah itu dapat meyakinkan diri saya bahwa anak saya akan baik-baik saja? Bagaimana saya mengatasi rasa khawatir tersebut?
. Saya mencoba melihatnya dari sisi lain. Sepertinya, saya tidak perlu membunuh rasa khawatir itu. Saya hanya perlu menyadari diri lebih dalam lagi. Sadar bahwa perasaan itu adalah karunia Allah. Perasaan khawatir terhadap anak adalah sunatullah. Fitrah alami seorang ibu terhadap anaknya. Fitrah yang justru dapat meningkatkan pemenuhan tanggung jawab saya terhadap anak. Secara ekstrim, kalau saya 'bahagia' meninggalkan anak, anak saya pasti terabaikan. Hati nurani saya pun perlu dipertanyakan. Saya berusaha mengubah perasaan negatif untuk melahirkan sikap-sikap yang positif.
Pertama, saya bersyukur. Bersyukur karena Allah masih mencurahkan sifat sayang-Nya kepada saya, sebagai ibu. Karena perasaan khawatir itu, berarti tanda bahwa saya sayang kepada anak. Perasaan sayang ini tentunya akan berlanjut kepada usaha untuk memberikan yang terbaik bagianak.
Kedua, saya hanya akan keluar rumah jika memang saya sangat perlu untuk keluar rumah. Misalnya saja, untuk bekerja, untuk berbelanja, atau untuk ke dokter kalau saya yang sakit. Pokoknya bukan untuk keperluan yang tidak penting. Dan saya usahakan tidak akan mampir ke mana-mana setelah urusan niat keluar rumah saya selesai.
Ketiga, ini untuk antisipasi terhadap hal-hal yang tidak saya inginkan. Saya akan berusaha menyiapkan segala kebutuhan anak dengan cermat sebelum keluar rumah. Menyiapkan makan, menyediakan popok can menulis pesan buat si mbak untuk kebutuhan lain.
Terakhir, dan menurut saya hal yang sangat penting. Perasaan khawatir saya membuktikan bahwa suami, nenek, adik maupun pengasuh bukanlah sebaik-baik penjaga anak saya. Saya sendiri sebagai ibunya, juga tidak. Toh, saya pernah mengalami kejadian yang tidak enak juga tatkala anak saya terpeleset dan terjatuh di hadapan saya. Pernah tersedak ketika saya memberi makan. Bahkan kepalanya pernah memar terbentur tatkala bermain bersama saya. Kalau kejadian itu terjadi di belakang saya, saya pasti langsung marah. Menyalahkan orang lain yang sudah rela saya titipi anak. Astaghfirullah. Saya sepatutnya malu. Orang-orang yang membantu saya menjaga anak bukan malaikat. Mereka manusia sama seperti saya. Yang tidak punya kekuatan supersonic dalam menjaga anak. Akhirnya, saya perlu membuka mata hati saya. Memahami bahwa Allahlah satu-satunya Penjaga terbaik anak saya. Allah Al-Hafidzu, Allah Maha Penjaga. Mestinya, saya memang lebih banyak berdoa kepada Allah, memintanya untuk selalu menjaga anak saya.
Berkata Ya`qub: "Bagaimana aku akan mempercayakannya (Bunyamin) kepadamu, kecuali seperti aku telah mempercayakan saudaranya (Yusuf) kepada kamu dahulu?" Maka Allah adalah sebaik-baik Penjaga dan Dia adalah Mahapenyayang di antara para penyayang (QS. Yusuf: 64).
Rabu, 25 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar