Percaya Diri bukan Penakut
Menumbuhkan kewaspadaan tidak perlu bertentangan dengan kesopanan yang kita ajarkan kepada anak-anak. Anak pun perlu diberi pengertian, mana tindakan yang merupakan bentuk waspada dan mana yang berupa bentuk tidak sopan.
Anak misalnya perlu diasah keberaniannya untuk berteriak saat ada orang yang menarik, menyentuh bagian pribadi tubuhnya atau memaksa anak membuka pakaian. Beri penekanan bahwa teriakannya adalah tindakan penyelamatan diri. Namun, berteriak saat diajak berkenalan dengan orang dewasa, tamu orang tua, adalah perilaku tidak sopan yang perlu segera dikoreksi oleh orang tua.
Penting diingat, kewaspadaan yang kita ajarkan kepada anak ini adalah sebuah bentuk latihan memupuk kepercayaan diri, bukan memupuk ketakutan. Mengajarkan anak menjadi serba curiga terhadap orang-orang di sekitar justru berbahaya dan bisa merusak kepribadian anak. Bayangkan jika semua orang tua mengajarkan untuk curiga terhadap lingkungan sosialnya. Tidak akan pernah lagi kita melihat anak-anak bermain sepeda dengan riang, saling bertegur sapa dan bekerjasama satu sama lain.
Anak yang penakut justru membahayakan dirinya sendiri. Mereka tak mampu mengenali perasaannya, apalagi bertindak di saat ia membutuhkan pertolongan. Sebaliknya, anak yang percaya diri adalah anak yang mampu mengekspresikan perasaannya, memiliki rasa pengenalan terhadap keadaan bahaya dan mampu bertindak saat membutuhkan pertolongan.
Menumbuhkan kewaspadaan dapat dilakukan secara bertahap, tidak instan. Nancy Samalin, konselor parenting Parents Guidance Workshop, dalam websitenya memberikan contoh. Salah seorang ibu yang memiliki anak laki-faki berusia 6 tahun saat hendak ke luar rumah berkata pada si anak. "Hati-hati di luar sana, jangan bicara dengan orang asing. Kalau ada yang kasib kamu permen jangan terima. Kalau ada yang bertanya, jangan jawab. Kalau ada yang menawarkan tumpangan, jangan terima." Kemudian, ibu itu melanjutkan, "Ada pertanyaan? "
Anaknya pun menjawab dengan polos, "Ibu, apakah nanti ada seseorang yang akan memberikan saya permen?"
Jadi, apa yang ada dalam pikiran, ketakutan, serta harapan orang tua belum tentu dimengerti oleh anak. Maka gunakan contoh 'apa yang terjadi jika' untuk membantu anak menganalisa keadaan secara sederhana dan mencari jalan keluar. Tiga pertanyaan dasar yang bisa dibuat orang tua adalah : " Apa yang terjadi jika... ",. "Apa yang bisa kamu lakukan jika..."Apa lagi yang bisa kamu lakukan jika.....”
Tiga pertanyaan dasar ini dapat kita berikan sambil bermain peran dan games dengan Anda sebagai pemeran orang asing dan anak memilih tindakan. Beberapa ucapan dan tindakan yang juga bisa diajarkan adalah kalimat "Tidak, terima kasih" dan "Maaf, saya tidak kenal Anda." Begitu pula pilihan untuk berteriak minta toiong dan lari memberitahu kepada kelompok orang asing yang bisa dipercaya.
Meski demikian, segala upaya ini hanyalah merupakan ikhtiar kita manusia. Namun sekuat apa pun kita menjaga anak-anak, tangan kita tak akan mampu melindungi mereka selama 24 jam. Maka satu hal terpenting yang harus didahulukan di atas semua ikhtiar ini adalah menguatkan permohonan perlindungan kepada Allah swt. Semoga dengan ikhtiar dan tawakal ini selamatlah keluarga dan anak-anak kita.
Diantara kiat-kita agar anak kita selama dari korban kebiadaban seksual:
Selasa, 24 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar