Membaca Al-Qur’an merupaka sebuah dzikir yang paling mulia. Dengan demikian sangat dianjurkan sekali untuk membacanya, baik di waktu siang maupun malam. Amal inilah yang pada pereode terdahulu telah menghantarkan Islam pada titik kejayaan yang sulit capai oleh para pemeluknya di kemudian hari, dimana Al-Qur’an itu sendiri yang telah mendorong mereka pada karakter suka berkorban dan berjihad di jalan Allah, ditambah lagi dengan kesukaan mereka mendirikan shalat.
Dikisahkan bahwa banyak dari para ulama salaf itu yang mesti khatam membaca Al-Qur’an dalam jangka dua bulan, satu bulan, sepuluh hari, delapan hari, tujuh hari. Masih banyak lagi yang khatam dalam jangka enam hari, lima hari, empat hari, tiga hari. Banyak pula yang khatam dalam sehari semalam, dua khataman, tiga khataman, bahkan ada yang khatam delapan kali dalam jangka sehari semalam, diantaranya adalah As-Saiyid Al-Jalil Ibnu al-Katib Ash-Shufiy. Dan Al-Mujahid sendiri ketika Ramadhan tiba, ia selalu khatam dalam jarak antara Maghrib dan Isya’, mengherankan !. Pantas Islam ketika itu berkobar begitu pesat, dimana ternyata jiwa para ummatnya terpenuhi dengan ayat-ayat suci. Ironisnya keadaan seperti itu sekarang telah berbalik total. Al-Qur’an menjadi asing di tangan para pemeluknya. Dan kini mereka lebih kenal dengan Alkoran, apalagi jika ada sedikit tayangan gambar-gambar yang seronok. Mereka lebih dekat dengan berbagai kenikmatan duniawi. Di pesantren pun kegemaran membaca Al-Qur’an ini telah terasa bergeser, dimana santri-santri sekarang ternyata lebih asyik membicarakan motor, mobil atau VCD dan sejenisnya sehingga pantas jika diberi predikat generasi Shogun. Ruhul jihad mereka ternyata telah terkikis, dimana jika mereka diberi petunjuk ke arah itu, segera saja ada tuduhan Abu Bakar Ba’asyir-lah, Al-Qaidah-lah. Mereka terkaget-kaget dengan ajaran yang menjadikan Islam menuju kejayaan, ironis memang. Itu sebuah gambaran di pesantren. Dengan demikian anda dapat membayangkan kondisi di luar pesantren.
Dengan tulisan ini, kami mencoba untuk menggugah dalam menghayati Al-Qur’an yang diakui oleh setiap Muslim sebagai sebuah tuntunan kehidupan. Cobalah periksa, bagaimana reaksi Rasulullah Saw. ketika mendengarkan bacaan surah Hud. Beliau mengatakan melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidziy dan diperhitungkan shahih oleh Al-Hakim, dimana telah memenuhi kriteria hadits shahih Al-Bukhariy : :
“Surah Hud dan sejenisnya telah menjadikanku langsung ubanan”
Dan pada suatu kesempatan Ibnu Mas’ud membacakan surah An-Nisa’ di hadapan Rasulullah Saw. Namun ketika sampai pada ayat :
Fa kaifa idza ji’naa min kulli ummatin bi syahiidin wa ji’naa bika ‘alaa ha- ulaai syahiidan.
Maka bagaimanakah halnya apapila Kami mendatangkan seorang saksi dari tiap-tiap ummat. Dan Kami mendatangkanmu sebagai saksi atas mereka itu (An-Nisa’ : 41).
Beliau segera menyuruh Ibnu Mas’ud untuk menghentikan bacaan, dan seketika itu telah bercucuran air mata. Subhanallah, betapa lunak hati beliau dan betapa kesat hati kita.
Demikian pula cucuran air mata beliau tidak tertahankan lagi ketika mendengar ayat :
In tu’adzdzib-hum fa innahum ‘ibaaduka.
Jika Engkau menyiksa mereka, sesungguhnya mereka itu hamba-hamba-Mu jua (Al-Maidah 122).
Para shahabat dan tabi’in banyak pula yang menangis ketika mendengar ayat-ayat tertentu, bahkan ada yang pingsan. Dari mereka ada yang normal kembali, namun banyak pula yang terus menemui ajal.
Dikisahkan dari seorang tabi’in yang bernama Zararah bin Aufa. Ia merupakan seorang yang menjadi imam pada sebuah masjid. Namun pada suatu ketika ia membaca ayat :
Faidzaa nuqira fin naaquuri fa dzaalika yauma idzin yaumun ‘asiir
Apabila ditiupkan sangkala, maka hari itu merupakan hari yang sangat sulit (Al-Muddatstsir : 8)
Segera saja ia berteriak keras, pingsan lalu mati di mihrab tempat ia berdiri.
Perhatikan pula ketika Umar bin Khathab Ra. mendengar sebuah ayat :
Inna ‘adzaaba rabbika lawaaqi’. Maa lahu min daafi’
Sesungguhnya Adzab Tuhanmu itu mesti terjadi. Tidak seorang pun yang akan bisa menolaknya. (At-Thuur : 7-8).
Seketika itu ia langsung berteriak keras dan pingsan, kemudian diusung ke rumahnya dalam keadaan sakit sampai sebulan lamanya.
Apalagi ketika seorang tabi’in yang bernama Abu Jarir. Pada suatu hari Syeikh Shalih Mury membacakan sebuah ayat di hadapannya. Tiba-tiba saja ia berteriak keras dan langsung menemui ajalnya.
Pernah juga Imam Syafi’iy mendengar seseorang yang membaca sebuah ayat :
Haadzaa yaumu laa yanthiquun, walaa yu’dzanu lahum fa ya’tadziruun
Ini adalah suatu hari dimana mereka tidak bisa bicara lagi. Dan tidak pula mereka dizinkan untuk mengutarakan sebuah alasan( Al-Mursalaat : 35-36).
Ketika itu Imam Syafi’iy langsung pingsan.
Pada suatu hari Aliy bin Fudhail mendengarkan sebuah ayat :
Yauma yaquumun naasu li rabbil ‘aalamiin.
Yaitu hari ketika manusia berdiri menghadap Tuhan Semesta alam(Al-Muthaffifin :6).
Ketika itu Aliy pun roboh dalam keadaan pingsan. Maka Fudhail selaku ayahnya segera mengatakan :
“Betapa saat ini aku sangat patut bersyukur kepada Allah Yang telah memberi kamu suatu pelajaran berharga, wahai anakku”.
Pada suatu kesempatan Syeikh Syibaly melaksanakan shalat berjamaah bersama imam yang membaca ayat :
Walain syi’naa lanadzhabannaa bil ladzii auhainaa ilaika
Dan sesungguhnya jika Kami menghendaki, niscaya Kami lenyapkan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Al-Isra’ : 86 )
Sekonyong-konyong ketika itu Syeikh Syibaly langsung berteriak keras sehingga banyak orang yang menyangka bahwa dia telah tewas, sebab mukanya tampak merah padam dan dengan persendian yang bergetar keras, namun beberapa saat kemudian ia pun bangkit seraya mengatakan :
“Dengan ayat seperti itulah seseorang yang menjadi kekasih Allah akan selalu merasa terpanggil hatinya”.
Al-Junaidy mengatakan bahwa pada suatu hari dirinya bertandang ke rumah Syeikh Sary As-Saqathy, namun yang mengherankan ketika itu didapatkan seseorang yang membujur dalam keadaan pingsan.:
“Ia merupakan seseorang yang telah mendengarkan sebuah ayat Al-Qur’an, namun hatinya tidak mampu lagi menahan gejolak dari pengaruh ayat itu sehingga ia langsung pingsan” kata As-Saqathy kepada Al-Junaidy.
“Kalau begitu, coba ayat tadi dibaca sekali lagi”. begitu saran Al-Junaidy.
Ayat itu pun dibaca ulang, sesaat kemudian lelaki itu langsung siuman. Melihat kejadian ini, As-Saqathy agak heran sehingga ia mengatakan :
“Wahai Al-Junaidy, dari mana pengetahuanmu yang sedemikian ini ?”.
“Tiada lain dari, “kata Al-Junaidy”, hasil mencermati kisah Nabi Ya’qub, dimana kebutaan yang dideritanya adalah tersebab menangisi kepergian putranya, alias tersebab makhluk. Ternyata pada akhirnya beliau bisa melihat kembali dengan sebab makhluk pula (dilempar dengan baju Nabi Yusuf yang dikirim oleh Yahuda). Dengan demikian aku mengambil kesimpulan bahwa jika saja kebutaan itu disebabkan dari-Nya, beliau tidak akan pernah bisa sembuh dengan perantaraan makhluk.”
“Bagus benar pendapatmu itu.” sahut As-Saqathy keheranan.
Begitulah kebeningan hati orang-orang salaf ketika mendengarkan ayat-ayat Al-Qur’an yang dibaca. Perasaan mereka begitu peka, namun bukan sebagai figur-figur yang penakut ketika menghadapi musuh, atau mudah takluk dalam menghadapi sebuah penderitaan hidup. Bukan pula termasuk pribadi yang ketika berdekatan dengan ciu, lagak mereka sudah sok jagoan, namun ketika berhadapan dengan musuh yang sebenarnya, ternyata menjadi orang pertama yang sangat takut kehilangan duniawi.
Semogalah kita diberi kemampuan Allah untuk mencintai mereka, amin ◙
Kamis, 31 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar