Terapi Anak Autis
Cinta dan perhatian Tutik Maharini yang begitu besar terhadap anak-anak penderita autis dan kebutuhan khusus, memberi arti tersendiri bagi masyarakat di sekitar Perumahan Uniga Joyo Grand Atas, Rejosari, Malang. Di tempat tinggalnya itulah, perempuan yang akrab disapa Rini ini mendirikan "River Kids", tempat terapi untuk anak autis dan kebutuhan khusus, bersama rekan-rekannya. Beragam aktivitas sosial yang kerap ia ikuti, semisal mengelola pengajian anak-anak di masjid perumahan, membuat Rini makin dikenal di lingkungannya.
Kegiatan sehari-hari istri dari Jamal Abdul Nasir ini bisa dibilang cukup padat. Mulai dari menyiapkan segala keperluan suami dan anak-anaknya, mengelola tempat terapi, mengikuti pengajian, sesekali diundang rapat oleh Pemda Malang untuk membahas masalah pendidikan, sampai kuliah yang mulai ia geluti lagi. Rini bersyukur karena ia mendapat dukungan yang besar dari suaminya.
Bukan tanpa sebab kalau ibu dari Aria Maulana (10) dan Rizal Mahantara (8) mendirikan tempat terapi untuk anak autis dan kebutuhan khusus tersebut. Anak pertamanya, Aria, adalah penderita autis, sekaligus hiperaktif dan retardasi mental, yang baru diketahui saat Aria berumur 4 tahun. Di awal-awal tahun Aria divonis autis, dunia seperti runtuh, aku Rini. Baginya tak ada pilihan, ia melepaskan karir yang saat itu tengah dijalaninya agar bisa sepenuhnya merawat Aria.
Memiliki anak autis dirasakan Rini sangat berat. la tidak punya skill untuk merawat anak autis, di tambah lagi biaya terapi anak autis di Malang amat mahal. Rini juga memikirkan bagaimana seandainya ini dialami oleh mereka yang tidak mampu. Dilecut oleh kondisi tersebut, Rini dan beberapa rekannya lantas memberanikan diri mendirikan tempat terapi untuk anak autis dan kebutuhan khusus di Rumah Sakit Islam Unisma, Malang.
Seiring waktu, tempat terapi yang dikelolanya banyak didatangi masyarakat yang membutuhkan, terutama mereka yang berasal dari kalangan menengah ke bawah. Ini disebabkan biaya terapinya lebih murah 60 persen dari tempat terapi lain di Kota Malang. Karena ruangan yang ada tidak cukup lagi, Rini pun merelakan rumahnya dijadikan tempat terapi sejak tahun 2004. Hingga kini, River Kids membina 42 anak autis dan kebutuhan khusus, yang kebanyakan berasal dari kalangan tidak mampu.
Perhatian Rini pada anak-anak autis dan kebutuhan khusustidaksampai di situ saja. la pernah melayangkan surat aspirasi kepada Diknas Malang mengenai pengikutsertaan (inklusi) anak autis di sekolah umum. Menurutnya, kalau anak autis disuruh mencontoh maka seharusnya mencontoh di sekolah umum, bukan di SLB. Akhirnya setelah beberapa lama, Diknas Malang mengeluarkan kebijakan program inklusi untuk anak autis di SD umum. Kini, 5 siswa River Kids mengikuti inklusi di SD umum, dengan pendampingan dari para terapis.
Ke depan, Rini bercita-cita mendirikan sekolah untuk anak autis dan kebutuhan khusus, yang lebih lengkap, baik fasilitas maupun kurikulum yang disusun berjenjang. Di sekolah yang saat ini sudah mulai dirintis bersama rekan-rekannya ini, nantinya juga akan ada bengkel-bengkel kerja untuk mengasah keterampilan anak-anak autis sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya.
v Memberikan HakAnak Secara Utuh
Ibu Ernawati mengatakan: Anak ketiga saya, Abdurrahim Aufa (5,5tahun), lahir saat usia kandungan saya baru 32 minggu.Ia lahir prematur dengan berat 2060 gram.Tidak ada yang aneh dari fisik Aufa, meski ia sepat masuk NICU (Neonatal Intensif Care Unit) karena napas selama dua hari. Di rumah, saya perhatikan Aufa memang agak berbeda dengan kakak-kakaknya. Ia sangat jarang menangis. Saya lalu ingat pesan dokter di rumah saya bahwa bayi prematur memang relatif anteng namun kita tidak boleh tenang saja dengan keantengannya. Dia harus tetap dipaksa minum ASI. Alhamdulillah, pertumbuhannya selama satu bulan cukup pesat. Berat badannya naik menjadi 2500 gram. Dia juga sudah bisa nangis kalau lapar dan bisa menghisap ASI. Berangsur-angsur berat badannya semakin membaik. Tapi, saya mulai mencurigai ada perkembangannya yang berbeda. Aufa relatif rentan dengan berbagai penyakit. Maka saat usianya delapan bulan saya membawa Aufa ke dokter spesialis syaraf anak
Berdasarkan pemeriksaan diketahui ada kekurangan pada syaraf Aufa, tetapi tidak hilang sama sekali. Ia masih bisa merasakan sakit, geli, dan masih memberikan respon. Pada usia 13 bulan, saya baru memeriksakan Aufa untuk scanning otaknya. Dari hasil scanning ada kelainan pada otak kecilnya, yang kemudian saya ketahui sebagai CerebalPalsy.
Memang berat menghadapi kenyataan itu. Tapi, saya tidak mau berlama-lama larut dalam kesedihan. Saya bersyukur bahwa kondisi saya sebenarnya tidak terlalu malang. Bahkan saya malah sedih kalau bertemu orangtua dengan anak yang normal tapi banyak mengeluh.
Sampai sekarang Aufa hanya bisa duduk. Kemampuan motoriknya lemah. Tetapi ada satu kelebilhan yang dimiiiki Aufa yaitu ingatannya yang sangat kuat. Bahkan, ia sanngat hapal dengan teman-teman saya dan ayahnya yang pernah datang ke rumah.
Saya pernah mencoba fisioterapi di RSCM selama delapan bulan. Tapi, terkait dengan kendala jarak dan biaya saya tidak meneruskan terapi itu. Namun, saya bertekad tetap memberikan hak Aufa sebagai anak secara utuh. Haknya untuk bersosialisasi, belajar, dan lain-lain. Saya sangat lega mengetahui TK yang ada di dekat rumah saya begitu wellcome dengan kedatangan Aufa. Mulai dari kepala sekolah, sampai guru-gurunya bisa menerima Aufa apa adanya. Dan perkembangan Aufa sampai saat ini lumayan pesat. Ia sudah bisa rmenyanyi, berhitung, mengenal huruf, ngobrol dengan teman-teman kelasnya.
Saya dan suami tidak pernah malu memiliki anak Aufa. Tidak pernah terpikir untuk menutup-nutupi keadaan dengan menyembunyikan Aufa di rumah, misainya. Mudah-mudahan cinta dan doa kami menjadi bekal yang sangat berharga bagi proses turnbuh-kembangnya.
Sabtu, 28 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar