Timbulnya Nyeri
Dalam ilmu kedokteran, nyeri yang merupakan gejala dalam tubuh yang menandakan adanya proses berlangsungnya suatu penyakit, termasuk salah satu masalah besar. Berdasarkan tingkatannya, dibedakan atas nyeri akut, nyeri kanker, dan nyeri kronis.
Nyeri akut dapat timbul, misalnya, akibat tulang yang terbentur atau menyentuh permukaan panas. Biasanya nyeri yang dirasakan bersifat terbatas dan sementara. Aktivitas pasien pun tak banyak terganggu. Nyeri akut umumnya lebih mudah dikendalikan. Pemberian obat-obatan dan istirahat merupakan .cara yang efektif.
Nyeri kanker sebenarnya juga nyeri akut, tapi kejadiannya terus berulang akibat kerusakan jaringan yang berlanjut. Untuk menghilangkan atau menguranginya diperlukan berbagai metode dan terpadu. Nyeri kronis biasanya dirasakan terus-mene-rus dan diderita lebih dari 3 bulan sering kali berkaitan dengan ketidakberesan dalam tubuh, seperti adanya kanker atau atritis. Nyeri ini sulit ditelusuri dan ditangani. Pertolongannya di samping mengusir nyerinya, juga menelusuri penyebab utamanya. Yang termasuk nyeri kronis di antaranya nyeri pinggang kronis, nyeri wajah sesisi, nyeri kepala dan leher, nyeri akibat saraf terjepit, dan nyeri akibat proses peradangan.
Dalam tubuh, reseptor nyeri berupa serabut saraf dengan ujung yang tidak punya karakteristik khusus. Letaknya di dalarn kulit dan jaringan lainnya. Serabut ini dapat dipicu oleh tiga macam rangsangan, yakni yang bersifat mekanis, termal, dan kimiawi.
Beberapa ujung serabut saraf merespons langsung dengan hanya satu tipe rangsangan, sementara yang lainnya dapat mendeteksi semua tipe rangsangan. Substansi kimia yang dihasilkan tubuh dan membangkitkan reseptor nyeri meliputi bradykinin, serotonin, dan histamin. Prostaglandin yang dapat mempertinggi sensasi nyeri, dikeluarkan oleh tubuh ketika peradangan terjadi dan menjadikan ujung saraf peka, tetapi tidak secara langsung merangsangnya.
Persepsi nyeri sangat berbeda untuk setiap orang. Ada yang tahan terhadap nyeri, ada yang tidak. Pengalaman masa kecil, latar belakang budaya, genetik, dan jenis kelamin merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan persepsi dan respons seseorang terhadap rasa nyeri.
Faktor psikologis, seperti depresi dan kegelisahan, dapat memperparah nyeri seseorang. Depresi dan kegelisahan tercatat dapat menu-runkan ambang nyeri. Sedangkan kebebasan dan kegembiraan dapat mengurangi rasa nyeri untuk sementara. Demikian pula dengan perasaan lega secara emosional.
Karena nyeri berkaitan dengan faktor fisiologis dan psikologis, usaha untuk membebaskannya mesti ditujukan pada kedua faktor itu. Membantu pasien menanggulangi nyeri, dapat menurunkan kegelisahan, yang selanjutnya dapat menurunkan jumlah obat yang dibutuhkan untuk menghilangkan nyeri. Beberapa nyeri, tak mempan dengan cara tadi dan berlangsung tahunan.
Jumat, 27 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar