Mempertahankan Kehormatan
Shalat Wustha pada waktu ‘Ashar baru ditunaikan secara berjamaah di sebuah masjid. Seorang tokoh agama dengan sabar memberi pelajaran al-Qur’an kepada putra-putri masyarakat yang kehidupannya terkenal religius. Para murid terlihat sangat khidmat mencermati pelajaran yang disampaikan. Namun belum lagi usai, seorang ibu bergegas menemui tokoh agama tersebut dengan mengatakan bahwa ayah diharap segera pulang, ada seorang tamu yang menunggu di rumah. Lelaki itu mengatakan pada sang ibu: “Sebaiknya engkau katakan, ibu, hendaklah tamu itu menunggu, sebentar lagi pelajaran yang tengah berlangsung akan berakhir. Tokoh masyarakat itu ‘Arif namanya.
Setelah pelajaran al-Qur’an itu usai, lelaki itu pun bergegas pulang untuk menemui sang tamu. Dan setelah tamu dipersilakan masuk rumah, berbincangan pun mulai dibuka.
“Wahai Tuan guru, Aku mempunyai tetangga tukang pandai besi, Hadad namanya. Masyarakat di sana telah mengetahui dengan mata telanjang, kala dia sedang bekerja, besi membara di atas tungku itu tidak diambil dengan jepit atau peralatan lainnya, namun langsung dipegang dengan tangan telanjang. Aku sendiri takjub, ilmu apa yang terapkan. Mau bertanya, aku khawatir dia tersinggung, sehingga hubungan harmonis yang selama ini terjalin akan terganggu. Untuk itu aku mohon jika Tuan ada kesempatan, bertandanglah ke rumah Hadad. Dengan begitu tentulah ia akan mau menjelaskan perihalnya.”
“Insya Allah aku akan pergi ke sana, sehingga bila keistimewaan itu dari ilmu yang hak, aku akan bisa ikut menimbanya. Namun jika dari ilmu yang batil, aku akan menasihatinya agar dia mau bertaubat.” begitu kata si ‘Arif.
“Terima kasih, aku nanti juga mohon diberi pengetahuan tentang ilmu itu jika termasuk yang hak, sekarang aku mohon pamit,” tukas Hakim seraya mohon diri.
Di pagi hari setalah matahari naik satu penggalah, berangkatlah si ‘Arif itu kerumah Hadad menyaksikan apa yang dikatakan lelaki tamunya kemarin. Ia langsung menuju ke tempat Hadad bekerja. Memang benar, Hadad memegang besi membara dengan tanpa penjepit. Dengan sabar ‘Arif menunggu Hadad menyelesaikan pekerjaannya. Setelah itu, ‘Arif baru mengucapkan salam dan mengadakan perbincangan sebagai pembuka. Pada kesempatan itulah ‘Arif mengatakan:
“Bolehkah malam ini aku menginap di rumahmu agar perbincangan ini bisa diteruskan?”
“Oh, silahkan, kehendak Tuan aku terima dengan senang hati,” jawab Hadad.
Setelah hari agak sore, si ‘Arif itu pun diajak memasuki rumahnya untuk menyantap makanan yang telah disediakan istri Hadad. Perbincangan pun berlanjut sampai malam berlarut. Dan pada malam itu, sengaja si ‘Arif tidak tidur untuk melihat amal kebajikan apa saja yang dikerjakan Hadad sehingga memiliki karamah yang begitu aneh. Sampai menjelang pagi, ternyata tidak ada keistimewaan amal darinya. Melihat kenyataan itu, ‘Arif bergumam:
“Mungkin saja dia menutupi amalnya ketika aku menginap di sini. Akan aku coba semalam lagi,” gumam si ‘Arif.
Pada malam kedua juga tampak seperti biasa, Hadad tidur pulas dari waktu setelah ‘Isya’ sampai menjelang pagi dan tidak terlihat dia bangun malam. Pendeknya dia hanya mengerjakan shalat fardhu saja. Pagi harinya, si ‘Arif pun terpaksa bertanya kepadanya dengan berterus terang:
“Wahai saudaraku, masyarakat telah menyaksikan kehebatanmu. Dan setelah aku menyaksikan sendiri, ternyata memang benar adanya. Namun setelah aku lihat peribadatanmu, tampaknya biasa-biasa saja. Apa yang menyebabkan dirimu semulia itu. Apakah karena ilmu atau yang lain?”
Mendengar pertanyaan itu Hadad begitu tenang, malah bersenyum simpul penuh arti. Rona wajahnya menyiratkan rasa malu sedikit. Kemudian Hadad mengatakan:
“Wahai saudaraku, keistimewaan itu aku peroleh dari sebuah liku kehidupan laki-laki yang penuh ujian ini. Pada mulanya aku mempunyai seorang tetangga sebelah yang begitu cantik, cantik sekali sehingga mataku sulit terpejam karenanya, Jamilah namanya. Seringkali aku menggoda dan merayunya, namun agamanya begitu kokoh, tidak tergoyahkan sedikit pun.
Pada tahun berikutnya, datanglah masa-masa sulit, tahun paceklik yang betul-betul sulit mencari sesuap makan. Di pagi hari sebelum aku bekerja, pintu rumahku terdengar diketuk seseorang. Dan setelah aku buka, betapa berbinar mataku, hatiku riang alang kepalang, ternyata tetanggaku yang jelita itu di depan mataku. Namun belum sempat aku rayu, dia mengatakan:
“Wahai saudaraku, telah dua hari ini aku tidak mendapatkan makanan. Demi kemurahan hatimu, hendaklah engkau sudi memberi makanan yang bisa mengganjal perutku,” begitu dia meratap.
Sebagai lazimnya laki-laki, ratapan itu malah membuat nakalku kambuh. Ketika itu dia malah aku ledek:
“Bisa-bisa saja, asal… asal kau mau denganku sebentar saja, tidak lama kok, sungguh tidak lama,” jawabku nakal.
“Oh, lebih baik maut menjemputku, saudaraku!, dari pada aku berlaku durhaka kepada Allah,” jawabnya tegas.
Seketika nyaliku menjadi surut, kemudia dengan kecut akut olak maksudnya. Ia pun kembali ke rumahnya dengan tangan hampa. Entahlah, ketika itu aku begitu tega menyiksanya. Dan setelah dua hari berlalu, dia datang lagi meminta belas kasihanku. Kali ini, dia aku perlakukan sebagaimana semula, aku mau memberinya dengan syarat kehendakku diperturutkan. Sejenak kemudian hatiku berbunga-bunga, ternyata dia mau memasuki rumahku dan langsung menuju ke tempat tidur. Namun tampaknya, kini dia lemah sekali, suaranya terdengar lirih. Melihat kondisi yang demikian itu, segera saja aku pergi ke dapur mengambil makanan, kemudian aku taruhkan di pangkuannya. Lama sekali ia hanya memandang makanan itu, malah air matanya berlinang membasahi pipi yang tampak memucat. Akhirnya dengan suara terputus-putus dia mengatakan:
“Bisakah makanan ini engkau sedekahkan karena Allah?,” tanya Jamilah.
“Oh, jelas tidak. Tekad pertamaku tetap aku pegang teguh,” jawabku masih bersikap ketus.
Betapa terperanjatku, dia pun beranjak pulang ke rumahnya dengan meninggalkan tanpa dicicipi sedikit pun. Aku pun hanya bisa tertegun menyaksikan kegigihannya dalam mempertahankan kehormatan.
Esoknya lagi dia datang kembali. Kali ini suaranya hampir tidak terdengar, jalannya gemetaran, ia berkata kepadaku:
“Saudaraku, sudilah kiranya engkau menolongku, sebenarnya aku telah berusaha untuk meminta sesuap nasi pada orang lain, namun tidak aku temukan selain engkau. Adakah engkau sudi bersedekah makanan untukku dengan ikhlas karena Allah?,” begitu pintanya.
“Ya, tetapi berilah kesempatan diriku untuk menikmati apa yang ada pada dirimu, kendati hanya sebentar saja,” begitu sahutku tanpa belas kasihan.
Kemudian dia memasuki rumah dan duduk di tempat tidur seraya menundukkan kepala meratapi nasib yang menimpanya. Sialnya, ketika itu sudah tidak ada makanan yang tersisa. Akhirnya aku terpaksa bangkit untuk menanak nasi. Segera saja tungku aku nyalakan, kemudian tepung aku adoni dengan tanganku sendiri, dan dalam waktu yang tidak begitu lama, makanan itu sudah siap aku hidangkan di hadapannya. Pada kesempatan itu, kondisi seakan berbalik, rasanya aku luluh mendapat hidayah Allah SWT., sehingga hati kecilku memberontak dengan mengatakan:
“Wahai badan!, betapa celaka dirimu. Wanita ini merupakan sosok yang lemah, lemah akalnya, lemah fisiknya juga lemah agamanya, namun begitu tegar membela kehormatan dirinya kendati didera kelaparan yang hampir saja merenggut nyawanya. Sedangkan kamu, wahai badan, selalu ingin berbuat durhaka kepada Allah. Betapa beraninya dirimu menghadapi gejolak api neraka.”
Setelah terjadi pergolakan batin ini, aku pun sempat berdo’a:
“Ya Allah, aku bertaubat kepada-Mu dari segala ulahku selama ini. Sekarang aku tidak akan mendekatinya untuk berbuat durhaka kepada-Mu, kuatkanlah imanku, Engkau Maha Pemurah.”
Setelah selesai berdo’a, aku menoleh pada wanita itu seraya aku katakan:
“Makanlah sampai puas, janganlah engkau khawatir aku akan menodai dirimu, sekarang semua itu aku berikan ikhlas karena Allah.”
Mendengar ucapan ini, wanita itu hanya tertegun, tidak mau merasakan makanan yang telah aku hidangkan. Tiba-tiba ia mendongakkan kepala seraya berdo’a:
“Ya Allah, jika saja lelaki ini bersedekah dengan ikhlas, maka hindarkanlah dia dari keganasan api, baik di dunia atau pun di akhirat nanti.” begitu do’a yang aku dengar dengan jelas.
Kemudian aku tinggalkan dia makan sepuas-puasnya. Aku pun kembali membuat sabit yang kemarin belum selesai aku kerjakan. Namun tiba-tiba sebuah bara memercik persis di bawah telapak kakiku, herannya aku tidak merasakan panas, juga tidak terluka, aneh. Menyaksokan peristiwa yang ganjil ini, aku segera memasuki rumah seraya aku katakan pada wanita yang masih duduk di tempat tidurku itu:
“Saudaraku, bahagiakan hatimu, hari ini do’amu begitu mustajabah, hal itu telah terbukti pada diriku.”
Mendengar ucapanku ini, dengan segera dia bangkit menaruhkan piring dan langsung bersujud untuk bersyukur kepada Allah. Pada saat itu aku dengar dia memanjatkan do’a:
“Ya Allah, Engkau telah memperlihatkan kehendakku pada lelaki ini, juga telah Engkau perkenankan do’aku, untuk itu aku berharap, sudilah kiranya Engkau mengambil ruhku sekarang juga!”
Tertegun aku mendengar do’a itu. Beberapa saat kemudian, dia tampak terjatuh. Aku pun segera mendekat kepadanya untuk memberi pertolongan seperlunya, namun setelah aku perhatikan, ternyata dia telah meninggal dunia. Berarti ketika sujud itulah dia menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Itulah asal mula tubuhku tidak terbakar wahai ‘Arif, yang terbukti sampai sekarang masih berlangsung seperti saat peristiwa itu terjadi. Dengan demikian keistimewaanku ini bukan dari ilmu hitam, putih, coklat atau kotak-kotak yang bisa dipelajari, namun dari berkah sebuah do’a orang yang menderita. Sebagaimana para ulama telah mengatakan bahwa do’a dalam penderitaan akan lebih diperhatikan Allah dari pada ketika bahagia. Demikian kisah yang diuraikan dalam kitab ‘Uqud al-Lujain, hal. 21. Semoga diri kita terjauh dari perbuatan zina, yang diperhitungkan ulama sebagai dosa peringkat ketiga setelah syirik dan membunuh tanpa hak, amin. ■
Selasa, 17 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar