Masa Kanak-kanak yang Lenyap
Barang siapa diuji sesuatu dari anak-anak perempuannya, kemudian ia tetap berbuat baik kepada mereka, maka mereka akan menjadi tirai dari api neraka baginya.
(HR. Ahmad, Baihaqi, Nasa’i dari Ibnu Umar – shahih, Jamius Shaghir, hal. 294).
T
iap pagi, pekerjaan rutinku adalah mengantar anak saya. Tiap pagi pula, saya harus memutarkan lagu anak-anak untuk mereka, “kata Wardah, seorang ibu, “Pilihan saya Tasya, Sherina, Kevin. atau yang lain. Menurut penilaian saya, mereka harus diputarkan lagu-lagu yang sehat bagi anak, agar pikiran mereka tidak terpolusi hiruk-pikuk dunia orang dewasa.”
Suatu hari, seorang dari anak-anak itu berkata, Bunda, sekali-sekali nyetel “Westlife dong!" Waduh, saya terkejut mendengar permintaan itu. Saya katakan, saya tak punya kaset Westlife. Tetapi ternyata, beberapa hari sesudahnya, toh lagu Westlife terdengar juga dari radio tape mobil kami. Seorang anak membawa kaset Westlife dari rumahnya. Okelah, saya pikir, sesekali boleh juga saya mengalah. Dan saat lagu Westlife mengalun, hampir semua anak ikut bemyanyi. Tentu saja dengan lirik berbahasa Inggris yang amburadul.
Pada kesempatan lain, saya tak sengaja menyetel kaset berlabel "Swara Perempuan". Ini adalah kaset kumpulan lagu para penyanyi perempuan Indonesia yang konon "bersuara empuk.” Ketika saya ingin mengganti kaset itu dengan kaset lagu anak-anak, para penumpang cilik itu protes, "Yang tadi aja, Bunda! Yang tadi aja!" Akhirnya, dengan sekali lagi berkomentar "waduh!", saya kembali menyetel kaset itu dengan berkata, "Sekali ini saja ya... soalnya ini bukan kaset untuk anak-anak. Ini kaset lagu orang besar." Seorang anak menyahut, "Ah... aku biasa kok mendengarnya!"
Saya terkejut karena dua di antara anak-anak itu amatlah fasih ikut menyanyikan lagu-lagu yang diputar. Padahal, dari lagu-lagu tadi, hanya ada satu yang dinyanyikan oleh anak-anak, yakni Sherina. Selebihnya adalah penyanyi perempuan dewasa antara lain: Reza, Kris Dayanti, Rossa, Melly Goeslaw, Shelomita, dan Shanti. Dan lagu-lagu yang dinyanyikan sungguh bersyair dewasa.
Ampun, pikir saya, dua anak ini benar-benar anak TV! Lagu-1agu yang diputar itu adalah lagu yang biasa mereka dengar dan 4hat yideoklipnya di teleyisi. Mereka pasti sering menontonnya hingga hapal syair-syaimya. Padahal, saya ingat, sejumlah videoklip itu menyajikan adegan sensual di dalamnya. Videoklip Reza atau Shanti misalnya.
Pernah juga saya menyetel kaset "Reflection" Harvey Malaiholo. Kaset ini berisi lagu-lagu terbaik Harvey dan mendengarkannya membuat saya dapat bernostalgia tentang masa-masa 80-an.
Kedua anak saya berkomentar, "Lagu apa nih, Bunda? Kedengarannya jadul." Saya tertawa. “Jadul” ini istilah masa kini yang artinya "jaman dulu" alias "kuno". Saya tak keberatan dengan komentar anak-anak saya itu, karena melalui komentar "jadul" mereka inilah kami akhirnya mengobrol soal Harvey, soal lagu-lagu, soal kontes menyanyi, seal kerja keras untuk meraih prestasi, dan lain-lain. Atau "bete" untuk "bad temper" alias kesal atau tak enak hati. Atau TDX. Sebutan untuk alat teknologi baru ini diubah menjadi "please deh ah..." Anak-anak kita juga senang menyingkat. Kata `paranoid" menjadi "parno" (takut). Bahkan, toko buku Gramedia pun mereka sebut "Gramed". Kata si guru, malas betul anak-anak itu untuk bicara lengkap
Ada pula penggunaan tata bahasa yang salah. Kata "kali" diucapkan dengan "kalleee..." dipakai secara salah. Yang lainnya, sering pula kata "bokap atau nyokap" atau "mak" dipakai untuk sebutan bagi orang tua. Nah, demikianlah, bahasa gaul memang banyak mewarnai penggunaan bahasa anak-anak kita sekarang. Pemakainya tidak hanya remaja, anak-anak pun kerap menggunakannya. Kata atau istilah baru ini terserap menjadi bahasa sehari-hari antara lain karena kuatnya pengaruh media. Di sini media menjadi tempat sosialisi bahasa semacam prokem yang bagi pihak yang kritis akan merasa risih.
Selasa, 24 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar