v Peserta Askes pun bayar
Memang, di masa krisis ekonomi, orang sakit atau mengalami cedera bisa diibaratkan sudah jatuh tertimpa tangga. Apalagi jika harus menjalani rawat inap di rumah sakit. Kalau itu terjadi, Anda akan terbelalak melihat rincian biaya perawatan akibat kenaikan berbagai komponen biaya. Untuk obat saja, harganya naik 100 - 300% dari harga sebelum kurs dolar AS meninggalkan Rp 2.500,-. Reagen untuk pemeriksaan laboratorium melejit 300 - 400%. Atau, film untuk foto rontgen dan sejenisnya merangkak sampai 300%. Belum lagi biaya inap, pemeriksaan, atau terapi tertentu. Biaya tindakan foto koagulasi retina terhadap kebocoran pembuluh darah retina mata di sebuah rumah sakit mata terkenal di Jakarta, naik dari Rp 230.000,menjadi Rp 330.000,-.
Di RSPUN dr. Ciplo Mangunkusumo, ongkos pemeriksaan dengan Magnelir Resonance Imaging (MRI) naik dari Rp 800.000,- menjadi Hp 1 juta, pemotretan CT Scan merangkak dari Rp 200.000, menjadi Rp 300.000,-. Melihat melangitnya biaya penyembuhan penyakit, sampai ada seorang pasien - dengan kepasrahan menyayat hati - ingin dirinya disuntik tidur selamanya. Mengenaskan!
Hingga sekarang hal itu memang belum terjadi. Namun, yang meninggal lantaran akibat tak langsung dari tersendatnya pengiriman bahan atau kelangkaan alat dasar medis sudah terjadi. Empat orang pasien RS Sanglah, Denpasar, yang mestinya melakukan hemodialisis (cuci darah) terpaksa harus menghadap Yang Kuasa lantaran salah satu bagian peralatan cuci darah terlambat dikirirn dari penjualnya di Jakarta.
Kalaupun pelaksanaan hemodialisis tetap bisa dilakukan, pasien atau keluarganya mesti merogoh kantung lebih dalam lagi. Sekadar gambaran bisa ditengok pengalaman Taslim Hidayat. Pegawai negeri di Pemda DKI peserta Askes ini biasanya tidak mengeluarkan biaya sepeser pun untuk cuci darah di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. Biaya hemodialisis sepenuhnya ditanggung PT Askes, yakni sebesar Rp 180.000,-. Namun, sejak 1 Januari 1998 berdasarkan Surat Pemberitahuan No. 02/TU.K/38/I/1998 yang ditandatangai wakil direktur pelayanan medik RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo tentang pengenaan biaya tambahan bagi peserta Askes yang melakukan cuci darah, istrinya mesti membuka dompetnya setiap melakukan cuci darah.
Untuk Hollow Fiber Dialyser (HFD/ginjal buatan) baru diperlukan biaya tambahan Rp 80.000,-. Selain itu, mereka juga mesti membeli sendiri heparin, bahan pengencer darah, seharga Rp 12.500,- - 15.000/botol dan kalsium karbonat (untuk menghindari kekeroposan tulang akibat penyedotan kalsium besar-besaran karena tindakan dialisis) seharga Rp 10.000,-, yang tadinya sudah termasuk paket "gratis". Bagi bapak tiga anak ini biaya itu tentu memberatkan. Untung saja penggunaan HFD masih bisa diulang sampai maksimal 8 kali, tergantung tingkat keparahan pasien. Tentu saja, pemakaian ulangnya untuk pasien yang sama agar tidak terjadi penularan penyakit ke pasien lain. Dengan cara ini pasien atau keluarganya cukup mengeluarkan kocek Rp 25.000,untuk resep penggunaan ulang HFD. Artinya, bisa menghemat Rp 55.000,- untuk sekali cuci darah. Atau, kalau cuci darah dilakukan seminggu dua kali, dalam sebulan akan dihemat Rp 440.000,-.
Bayangkan saja kalau dia tidak ditanggung Askes. Untuk melakukan tindakan medis "penyambung nyawa" ini, pasien atau keluarganya mesti merogoh kantung sangat dalam. Di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo umpamanya, berdasarkan Surat Keputusan Direktur RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo tertanggal 28 Januari 1998, biaya rumah sakit yang terdiri atas bahan dan alat dasar, jasa medis, serta jasa rumah sakitnya saja Rp 75.000,-. Itu belum termasuk biaya hemodialisis set (HD set) yang harganya selangit. HD set 4 item yang dipasarkan PT Sinar Roda Utama umpamanya, berharga Rp 577.500,-, termasuk Ppn 10%. Jadi, biaya hemodialisis pasien bukan peserta Askes mencapai Rp 652.500,-. Bila HD set digunakan kembali, biayanya menjadi "cuma" Rp 100.000. Biaya-biaya itu lebih gila lagi kalau cuci darah dilakukan di rumah sakit swasta mewah.
Jumat, 27 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar