Kmbali Menggapai Kejaan Islam
A
lhamdulillah Allah telah memberi karunia yang begitu besar kepada kita, terutama kita dilahirkan dalam negeri yang mayoritasnya beragama Islam dan dari ayah dan ibu yang Muslim pula. Betapa tidak terbayangkan jika saja kita harus lahir dari seorang ibu yang kafir atau di negeri kafir pula. Keislaman kita merupakan karunia yang tak ternilai harganya. Dari situlah kita seakan telah diberi kunci Allah untuk memasuki surga yang kekal abadi selamanya.
Namun kiranya keislaman kita perlu sekali merunut dan merujuk kondisi kehidupan Rasulullah dan para sahabatnya agar dalam beragama ini kita dipenuhi dengan ghirah, kemauan yang keras menuju kejayaan yang kita dambakan. Betapa gaung untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah sekarang sudah tidak terdengar lagi, bagaikan gaung reformasi yang kini tenggelam seakan terkubur dalam-dalam. Padahal jargon kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah itu berdampak positif yang sangat besar, mengingat pada masa Rasulullah Saw., dalam menempa para shahabatnya tidak lain dengan media Kitabullah dan Sunnah Rasulillah. Dari situ Character building para sahabat terbentuk. Sehingga mereka betul-betul menghayati isi Al-Qur’an itu sendiri. Bukan hanya menghayati, bahkan orang-orang salaf begitu rajin membaca. Dari mereka banyak yang sehari semalam bisa khatam sekali, ada yang dua hari khatam, ada yang tiga hari, ada yang satu minggu, ada pula yang sepuluh hari, dan yang lima belas hari, bahkan yang satu bulan dan yang empat puluh hari. Mereka berlomba-lomba dalam membudayakan kalimat Allah itu.
Sekarang marilah kita cermati, boleh jadi kandasnya jargon dan setting kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah itu tidak lain keduanya malah selalu dijauhi. Kita jarang membaca dan menghayati. Kalau masyarakat awam akan kita anggap wajar, namun betapa ironis jika anak-anak tokoh sendiri kadang membaca Al-Qur’an saja tidak mampu. Betapa minim mereka dalam mentelaah bahasa dan kalimat Allah itu. Sehingga tidak pantas dan tidak mampu lagi mereka berteriak, kembali kepadanya. Dan ketika dalam mencermati Al-Qur’an dan As-Sunnah itu mereka tidak mampu, maka dalam memahami Islam, mereka segera beralih kepada media yang dirasakannya mudah, melalui terjemahan yang sudah direkayasa pun bisa, lewat Islam versi Barat pun bisa, kendati pengajarnya biasa berzina atau makan daging babi dan tidak memiliki rasa takwa sama sekali. Akibatnya Islam remuk redam dari dalam, karena konsepsi yang diutarakan tidak lagi sesuai dengan ruh yang ada dalam Al-Qur’an itu sendiri. Hal ini yang mengundang paradoksial dan antagonisme
Kedua, yang menjadikan Rasulullah dan para shahabatnya berjaya, tidak lain adalah semangat mereka dalam berjihad memperjuangkan agama Allah. Mereka begitu ikhlas dalam berkorban, baik jiwa atau pun raga dan hartanya untuk membela kepentingan itu. Betapa banyak dalam Al-Qur’an yang menghasung dan menghimbau ke arah itu, dan Rasulullah beserta para sahabatnya juga mempraktekkan anjuran itu dengan semaksimal mungkin, sehingga hasilnya kita ikut merasakan sebagai seorang Muslim. Cobalah kita perhatikan sebuah ayat:
ö@è% bÎ) tb%x. öNä.ät!$t/#uä öNà2ät!$oYö/r&ur öNä3çRºuq÷zÎ)ur ö/ä3ã_ºurø—r&ur óOä3è?uŽÏ±tãur îAºuqøBr&ur $ydqßJçGøùuŽtIø%$# ×ot»pgÏBur tböqt±øƒrB $ydyŠ$|¡x. ß`Å3»|¡tBur !$ygtRöq|Êös? ¡=ymr& Nà6ø‹s9Î) šÆÏiB «!$# ¾Ï&Î!qß™u‘ur 7Š$ygÅ_ur ’Îû ¾Ï&Î#‹Î7y™ (#qÝÁ/uŽtIsù 4Ó®Lym š†ÎAù'tƒ ª!$# ¾ÍnÍöDr'Î/ 3 ª!$#ur Ÿw “ωöku‰ tPöqs)ø9$# šúüÉ)Å¡»xÿø9$# ÇËÍÈ
Katakanlah: “Jika bapak-bapak kalian, anak-anak, isteri-isteri, kaum keluargamu, kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatirkan ruginya, rumah tempat tinggal yang kalian sukai, yang semua itu lebih kalian cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya serta dari ada juhad di alan-Nya, maka tungguilah sampai Allah mendatangkan keputusannya (kehancuran kalian) (At-Taubah : 24).
Sebuah ayat yang telah menempa para sahabat sehingga mereka berani berangkat berjihad kendati dengan tanpa bekal yang cukup, sehingga dalam perang Tabuk saja dikisahkan sebagian mereka harus mengulum satu buah kurma secara bergantian, bahkan memeras tahi onta untuk diminum airnya, dan memakan pucuk dedaunan sehingga ketika mereka berak, tinjanya bagaikan kotoran kambing. Ternyata Islam yang kita serap (dahulunya) diperjuangkan oleh mereka yang perutnya sering kelaparan, bukan oleh perut-perut buncit, dengan hati yang terlanda begitu mabuk duniawi dan sangat takut terhadap kematian. Dua hal itulah (hubbud dunia wa karahiyatul maut) telah disabdakan Rasulullah sebagai pokok kehancuran Islam dan kaum Muslimin. Malah ketika Khalid bin Walid mengahadapi sakaratul maut dalam keadaan normal (tidak berperang), ia begitu mengeluh dan sangat berharap bisa syahid. Dihujatnya tubuh renta yang dahulunya begitu kekar yang kini akan mati bagaikan wanita yang renta, tidak jantan sama sekali. Ia memang sangat berharap mati syahid.
Sekarang bagaimana mengenai kondisi kita yang sudah terlanjur dicekoki prinsip ekonomi. Mengeluarkan biaya sesedikit mungkin dan menarik keuntungan sebanyak-banyaknya. Sehingga banyak dari anak tetangga kita yang buta huruf Kitabullah, namun kita biarkan saja. Dengan alasan, “Itu urusan pribadi.” Atau kalau mau mengajar, sekarang harus ada imbalan yang memadai.
Ketiga, kejayaan Islam (dahulu) adalah karena figur yang memperjuangkannya begitu tekun dan sangat mencintai terhadap shalat. Hal inilah yang telah mendorong mereka memiliki jiwa bersih, suka berkorban dan selalu berhadap ridha Allah SWT. Bukankah kita pernah mendengar bahwa kaki Rasulullah pada suatu ketika sampai bengkak-bengkak karena menjalankan shalat sebagai ungkapan rasa syukyur kepada Allah?. Bukankah kita mendengar bahwa orang-orang salaf sering mengkhatamkan Al-Qur’an di dalam shalat?. Itulah yang dikatakan Al-Qur’an pada permulaan juz 18:
Qad aflahal mukminun, alladziina fii shalaatihim khaasyi’uun.
Sungguh berjaya orang-orang Mukmin itu, yaitu mereka yang ketika menjalankan shalat selalu berusaha untuk khusyu’.
Ternyata kehidupan mereka “Siang bertongkat tombak besi, malam bercermin Kitab Suci, dan sekali berbakti, setelah itu mereka baru rela mati.” Indah memang !.
Kalau ketiga tugas di atas betul-betul telah kita laksanakan, sewajarnya kita disebut menapak perilaku Rasulullah. Sewajarnya pula kita meneriakkan slogan “Kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits.” Bahkan mungkin tidak akan ada lagi orang yang mengatakan, Islam Fundamentalis, Islam Teroris dan Islam Liberal........Semoga!. ■
Sabtu, 28 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar