Saya juga menghadiri acara buka puasa bersama yang diselenggarakan teman-teman atau kolega nonmuslim. Bagi sebagian kalang an, kegiatan seperti itu mungkin biasa-biasa saja dan tidak ada istimewanya. Tapi, bagi saya punya arti lain: ada sesuatu yang touching the heart atau menyentuh nurani saya sebagai Muslim!
Bagaimana tidak, tuan rumah bukan saja menyediakan makanan yang lezat untuk berbuka puasa, tetapi juga menyambut tamu-tamunya dengan Pen till keramahan. Yang lebih mengesankan, sang tuan rumah memberikan sambutan, bahkan secara tidak sengaja mirip semacam "kultum" (kuliah tujuh menit) eeperti yang sering kita lihat di masjid, musala, atau forum pengajian
Dalam "kultum" ini mereka berbicara tentang keindahan Islam sebagai agama perdamaim (salant) yang mengutamakan persaud
Para Dubes, diplomat, dan teman-teman nonmuslim itu dengan ikhlas dan sukacitamenjamu dan menyambut tami.i-tamu muslimnya dengan keramahan. Tak lupa mereka mengucapkan "Selamat Berpuasa", "Selamat Idul Fitri", "Minal Aidin wal Faizin", melalui ucapan yang tulus dan kalimat yang indah lewat karlu Lebaran, e-mail, dan SMS. Alangkah anggun dan indahnya Islam di mata mereka!
Mulia dan Mendidik Di sisi yang lain, saya juga membaca berita kegiatan Gereja Kristen Jawa (GKJ) Manahan, Solo, Jawa Tengah, yang meuyediakan nasi murah untuk berbuka puasa kaum muslitnin (Kompas, 26 September 2008). Nasi dan lauk pauk yang dihargai Rp 500 itu dibeli dan disantap oleh tukang becak, pe
nyapu jalan, dan wong cilik lainnya yang dalam agama tergolong kepada kelompok fuqara wal masakin (fakir lniskin) itu.
Di tengah impitan kesttlitan ekonomi dan rendahnya pendapatan, mereka mengaku merasa sangat tertolong dengan kegiatan seperti itu. Dengan kegiatan itu, pihak GKJ Manahan menyatalcan sebagai bemak penghormatan terhadap umat Islam yang berpuasa dat, wujud kerukunan beragama.
Sebagai muslim, saya terharu dengan kegiatan mulia yang kreatif dari GKJ Manahan, Solo, itu. Terharii karena GKJ mempunyai kegiatan mulia untuk menolong para won g cilik muslim yang perlu dibantu, tapi sering Input dari perhatian kita itu.
Jujur saja, kita sering melupakan kelompok marginal tersebut. Kegiatan itu juga punya unsur mendidik karena penyelenggaranya tidak me.nggratiskan sama sekali nasi dan lank pauk untuk berbuka puasa. Artinya, mereka yang diberi pertolongan juga harus tetap punya uang dan membayar dari hasil kerja dan jerih payahnya sendiri.
Kebijakan sepertiitn, insyaAllah, akan menghilangkan atau mengurangi persepsi kelompok yang suka usil, curiga; dan cemburu dengan fnengait-ngaitkan kt;giatan seperti itu sebagai bagian dari propaganda agama atau strategi "Kristenisasi". Dua fenomena yang saya alarm dan amati di atas menjunjukkan bahwa semangat kebinekaan atau pluralistne positif telah dipraktikkan para Dubes, diplomat, dan teman-teman nonmusliln. Mereka bersikap ramah kepada kaum muslimin karena mereka tahu bahwa Islam adalah agama yang membangun persauda>:aan dan kemanusiaan universal, tanpa memandang perbedaan agama, suku, ras, golongan, dan asal-usul sosial.
Mereka masih percaya dan optimistis_ bahwa mayoritas Islam Indonesia adalah Islam yang ramah dan moderat. Sementara itu,
banyak kaum nonmuslim di negeri ini yang punya jiwa sosial-dengan mau menolong dan mendidik wong cilik dan kaum dhuafa yang perlu tnendapat bantuan, tapi sering kita lupakan itu.
Masih Ada Wajah Marah Di sisi yang lain, saya sedih karena rilasih ada kelompok tertentu , yang masih senang mengobarkan kebencian dan kekerasan atas nama agama, bahkan di bulan suci Ramadan sekali pun. Mereka terus menatnpilkan wajah Islarn yang marah, yang tidak menghargai perbedaan pendapat, yang menghalalkan kekerasan, bahkan terhadap sesama muslim hanya karena perbedaan tafsir atau keyakinan keagamaan.
Kemarahan dan kekerasan sepertinya jadi alternatif untuk menyelesaikan persoalan,danjauh dari semangat dialog, edukasi yang persuasif, dan menghargai perbedaan pendapat di antara sesama umat sebagai rahmat (ikhtilaafic ummati rahmah).
Sebagai sesama muslim, saya hanya bisa berdoa semoga di hari raya Idul Fitri ini mereka yang lebih suka menebarkan kebencian dan kekerasan diberi kesabaran, dilunakkan hatinya, dan dicerahkan pikirannya oleh Allah swt. Mari kita tampilkan Islam yang . ramah dan rahmah melalui dakwah.yang lebih mengedepankan cara-cara yang lebih bijaksana (bil lzilanah), dengan keteladanan yang baik (wal cnauidzatil hasanah), dan dengan diskursus yang baik pula (wajcidil hum billati hiya ahsan).
Dunia membutuhkan the smiling Islam, Islam yang ramah. Bukan Islam yang selalu marah-marah. Wallahu 'alam bis sawab.
~al Syafz'iAnwar, direktur eksekut f ICIP (International Center for Islam and Pluralism). Mendapatkan gelar doktor dalam sejarah dan sosiologi Islam dari Universitas Melbourne, Australia

Tidak ada komentar:
Posting Komentar