Sabtu, 28 November 2009

Abunawas dan Keledai yang Reot

Abunawas dan Keledai yang Reot

Abunawas dan Keledai yang Reot

Setelah shalat Shubuh, biasanya Abunawas selalu membersihkan kandang keledainya yang acapkali bergantian dengan anaknya. Namun kali ini sang anak tampak enak-enakan ngorok. Hal inilah yang membuat Abunawas agak geregetan. Sebab sebagaimana sabda Rasulullah Saw bahwa ngorok setelah shalat Shubuh, itu penyebab utama melarat.1 Tentu saja Abunawas segera mengoprak-oprak sang anak untuk berbelepot ria dengan tahik keledai. Sang anak kendati sering berseberangan pendapat dengan ayahnya dalam sebagian perilaku, namun kali ini tampak nurut bin manut sehingga segera bangkit dan menimpali kotoran sejenis urea itu.
Setelah hari agak siang, kali ini Abunawas ingin menghibur hati sang anak untuk diajak jalan-jalan menunggang keledainya. Kemauan Abunawas ini bukan tanpa maksud. Akhir-akhir ini berkembang pameo di masyarakat bahwa memperturutkan kata orang itu nggak abis-abis, sebab kerelaan manusia itu sesuatu yang relatif, nisbi, tidak diketahui batasnya.
“Mumpung kesempatan ini amat bagus, yuk kita coba pameo alias rumor itu, buyung!” begitu sang ayah mengajak anaknya.
“Bagaimana abah akan menguji ucapan mereka yang tidak terbatas itu?” sambung sang anak.
“Kita membuat sampel saja, atau boleh dikatakan eksperimen, nak,” sergah sang abah lagi.
“Tapi siapa yang kita jadikan sampel untuk menguji keshahihan rumor tersebut, abah?,” sang anak masih tampak ngeyel meminta penjelasan.
“Anu, anu.. kita berjalan di muka pasar secara bergantian, nanti kita lihat, bagaimana reaksi orang sepasar,” sahut sang ayah dengan rona puas.
Segera saja Abunawas menggelandang kendali keledai berjalan beriringan dengan sang anak tanpa ditunggangi. Sang keledai tampaknya sangat kegirangan ketika punggungnya tidak merasakan adanya beban. Sehingga seringkali kaki belakangnya nyelentak ke kekiri dan ke kanan seakan melepaskan beban jiwanya yang selama ini tubuhnya selalu ditambatkan di sebuah tonggak.
Semakin lama, perjalanan mereka kin mendekati pasar Baghdad. Abunawas segera mempersiapkan jurus-jurus andalan untuk menggali keampuhan eksperimennya.
“Nak, sekarang kita mulai membagi tugas! Aku yang akan menunggangi keledai ini, sedangkan kamu menuntunnya di depan. Kita segera melintas di depan pasar yang sedang ramai orang bertransaksi kebutuhan itu,” begitu Abunawas memulai percobaannya.
Maka sang anak pun menuntun keledai itu dengan tenang. Sedangkan sang ayah enak-enakan bertengger di punggung binatang bodoh itu. Sejenak kemudian mereka telah sampai di depan pasar. Betapa herannya, seakan orang sepasar memandangi Abunawas wa ala alihi washahbihi ajma’in ini. Tiada disangka pula, banyak mulut yang usil dengan mengatakan:
“Tuh, lihat, orangtua tak punya rasa kasih sayang terhadap anak. Bagaimana sang anak disuruh menarik keledai, sedangkan sang ayah malah berleha-leha di atas punggung. Taruh saja umpama perjalanan itu jauh, apa enggak letih.Sungguh orangtua yang tak tahu diri!”
Mendengar ucapan ini, telinga Abunawas bagai disogoki gagang cemeti, amat gatal, namun dalam hatinnya telah bernazar, ia tidak akan membalas ucapan mereka. Setelah perjalanan mereka agak jauh, Abunawas segera mengatakan kepada sang anak:
“Bagaimana reaksi mereka dalam percobaan pertama ini?. Benar kan, bahwa orang itu kebanyakan berlaku usil mengenai apa yang dilakukan pihak lain!”
“Ya, bah, sekarang mulai tampak belang mereka,” sergah sang putra.
Setelah beberapa menit kemudian, kini Abunawas mengatakan kepada sang anak:
“Sekarang kamu yang ganti menunggang di atas punggung. Sedangkan aku yang menuntun keledai. Kita kembali ke selatan untuk mendapatkan info lebih akurat, nak!”
Sang anak pun tampak menganggukkan kepala dengan sedikit cengengesan, karena mencermati tingkah sang ayah ini termasuk usil juga. Mereka pun berjalan kembali ke selatan dengan sikap yang ditenang-tenangkan. Dan setelah sampai di muka pasar lagi, ternyata masih saja banyak mata yang memelototi seraya mengumbar ucapan:
“Tuh, anak yang tak tahu diri, enggak punya sopan santun. Masak, orangtua disuruh berjalan kaki sampai terseok-seok, sedangkan sang anak berleha-leha di atas keledai. Enggak kasihan tuh!.”
Kali ini Abunawas dan anaknya menahan tawa dan geli dalam hati, sehingga acapkali keluar semprotan liur yang tak bisa ditahan lagi sehingga bibirnya tampak berhias buih bagai menenggak ciu. Setelah agak jauh, keduanya melepaskan tawanya dengan berbahak-bahak, sedangkan Abunawas mengacung-acungkan kedua jempol tangannya tanda eksperimennya berjalan mulus.
Setelah kemengkalan perutnya agak reda, keduanya lantas mampir di tukang cendol untuk membasahi tenggorokan yang mulai kering, sambil memikirkan kesuksesan langkah selanjutnya.
“Sekarang begini nak,” kata Abunawas, “Keledai ini kita tuntun saja, tanpa ada yang menunggang. Kita melintas di depan pasar lagi. Bagaimana reaksi mereka.”
Sang anak pun mengiyakan ajakan ini, karena diam-diam, ia juga menikmati sandiwara yang dilakukannya. Hari sudah agak siang dan cuaca pun semakin panas, namun orang-orang pasar itu tampaknya belum juga bubabaran. Mungkin saja hari itu memang bertepatan hari pasaran. Keduanya pun mulai berangkat dengan menuntun keledai doang sampai di depan pasar. Terbukti mulut-mulut manusia itu tetap usil dengan mengatai:
“Lihat tuh, orang sableng, bloon dan begog. Hari panas begini menuntun keledai waras, mengapa enggak dinaiki! Betul-betul nalarnya butek hingga tak mampu berakal sehat.”
Mendengar kalimat ini, hati Abunawas sebenarnya panas juga, namun bagaimana lagi, ia dalam kondisi butuh validitas sebuah rumor agar menjadi pengetahuan yang berharga. Setelah agak jauh, Abunawas mengatakan kepada sang anak.
“Kini tinggal ujian yang terakhir, mari keledai ini kita naiki berdua, kita lihat, bagaimana reaksi orang-orang pasar.”
Sang anak pun tampak kegirangan sehingga secepatnya ia meloncat ke punggung keledai yang segera diikuti abahnya. Sayangnya, keledai ini sekarang tampak terseok-seok menahan beban. Jalannya tidak bisa lurus lagi, kadang menjorok ke kanan jalan, dan kadang menjorok ke kiri. Namun binatang reot itu tetap saja ditunggangi dengan semangat empat lima.
“Sabar ya oi, sebab beratmu menahan beban tidak lama kok!,” begitu ucap Abunawas pada binatang yang zonder nalar itu.
Setelah berada di muka pasar, So, orang sepasar mesti riuh rendah melihat keledai reot ini. Hebohnya, bertepatan di situ si keledai yang enggak pernah sekolah ini terkentut-kentut, terkencing-kencing dan terberak-berak. Maka orang sepasar pun mangap semuanya seraya menggeleng-gelengkan kepala tanda takjub yang tak berkesudahan. Ada yang mengatakan:
“Adakah kalian tidak kasihan sama keledai reot itu. Tubuhnya cukup kurus, sedangkan terik matahari menyengat, mengapa kalian begitu tega membebaninya dengan tubuh kalian yang cukup berat ini. Sungguh kalian tidak memiliki rasa perikebinatangan?!”
Yang lain berkoar:
“Tuh, keluar asap dari kenalpotnya!”
Adalagi yang neyeletuk:
“Tuh bensinnya ngelotor, baunya minta ampun!”
Ada yang mengatakan lagi:
“Tuh tahu kasrah-nya berceceran.”
Mendengar ucapan terakhir ini, Abunawas segera menkonfirmasi:
“Apa tuh yang namanya tahu kasrah?”
Si gendut yang mengucap itupun menjawab:
“Tahu fathah – taha, tahu dhammah – tahu, tahu kasrah ya tahi-lah.”
Mendengar jawaban ini, tawa Abunawas dan anaknya pun meledak sehingga dahinya menyentuh leher keledai, dan dahi sang anak pun menatap punggung Abunawas hingga terjengkang jatuh. Ini yang menambah riuh orang sepasar. Segera saja Abunawas turun dan menuntun keledainya untuk segera pulang.
Namun sang anak tampaknya ketagihan untuk ngeledek orang sepasar. Ia mengusulkan kepada Abahnya:
“Bah, sebenarnya masih sekali lagi yang belum kita coba!”
Abunawas tampak terperangah, kemudian mengatakan:
“Apa itu, kuncung?”
“Terakhir kali, keledainya yang kita angkat, kemudian kita melintas lagi di depan pasar. Kita lihat, bagaimana reaksi mereka!” begitun usul sang buyung.
“Ah, itu tak mungkin, bisa-bisa tubuh kita yang gepeng jadi rempeyek jika kita terhimpit keledai yang amat berat ini. Tak usah ah!” begitu jawab sang ayah seraya menuruskan langkahnya untuk pulang dengan mendapatkan pelajaran yang amat berharga bahwa memperturutkan kehendak orang banyak, pada akhirnya cilakak juga yang harus dituai. Sayup-sayup, Abunawas membaca ayat:
Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat makruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keredhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar (QS. An-Nisa’: 114).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar